"In a liquid modern world, young people do not merely look for the future---they build it, in uncertainties they did not choose."Â
"Di dunia modern yang cair, kaum muda tidak sekadar mencari masa depan---mereka membangunnya, dalam ketidakpastian yang tidak mereka pilih."Â
--- Anthony Giddens, "Modernity and Self-Identity" (1991)
Revolusi digital telah membawa perubahan besar dalam kehidupan pemuda Indonesia, menciptakan peluang sekaligus tantangan yang kompleks. Di tengah arus digitalisasi yang kian masif, pemuda dihadapkan pada dilema: apakah mereka mampu beradaptasi dan berkembang, atau justru meredup karena tidak siap menghadapi tuntutan zaman?. Fenomena ini semakin nyata ketika melihat data dan fakta di lapangan, yang menunjukkan bahwa transformasi digital tidak serta-merta membawa dampak positif bagi seluruh generasi muda. Salah satu tantangan utama yang dihadapi pemuda adalah rendahnya literasi digital. Menurut laporan Kementerian Komunikasi dan Informatika bersama Katadata Insight Center, indeks literasi digital Indonesia pada tahun 2022 hanya mencapai 3,54 dari skala 0-5, yang masih tergolong rendah meskipun ada sedikit peningkatan dari tahun-tahun sebelumnya. Rendahnya literasi digital ini dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti keterbatasan akses terhadap teknologi dan internet, kurangnya infrastruktur, serta minimnya pendidikan dan pelatihan yang memadai. Ketimpangan digital antara wilayah perkotaan dan pedesaan juga memperparah situasi, di mana banyak pemuda di daerah terpencil tidak memiliki kesempatan yang sama untuk mengembangkan kemampuan digital mereka.
Selain itu, krisis literasi digital juga berdampak pada menurunnya minat baca dan menulis di kalangan generasi muda. Data UNESCO tahun 2023 menunjukkan bahwa minat baca di Indonesia sangat rendah, yakni hanya 0,001% atau 1 dari 1.000 orang yang memiliki minat baca tinggi. Ironisnya, generasi Z di Indonesia menghabiskan rata-rata 8 jam 42 menit per hari untuk mengakses internet, namun hanya 8 menit yang digunakan untuk membaca. Fenomena ini diperparah oleh kebiasaan membaca konten singkat di media sosial, kurangnya akses terhadap buku, serta budaya literasi yang belum kuat di lingkungan keluarga dan sekolah. Akibatnya, generasi muda cenderung lebih konsumtif terhadap informasi instan dan hiburan digital, namun kurang kritis dalam menganalisis dan memanfaatkan informasi secara produktif. Krisis literasi digital juga meningkatkan risiko pemuda terpapar hoaks, konten negatif, dan informasi yang tidak diverifikasi. Banyak remaja menggunakan teknologi hanya untuk hiburan atau media sosial, tanpa kemampuan untuk mengevaluasi kredibilitas sumber informasi. Hal ini tidak hanya menghambat pemanfaatan teknologi secara optimal, tetapi juga dapat mengancam kualitas generasi muda sebagai agen perubahan di era digital.
Melihat data dan fakta tersebut, jelas bahwa dilema pemuda di tengah revolusi digital sangat nyata. Adaptasi bukan sekadar soal menguasai teknologi, tetapi juga membangun literasi digital yang kuat agar pemuda mampu berpikir kritis, kreatif, dan bijak dalam menggunakan teknologi. Tanpa upaya serius untuk meningkatkan literasi digital dan budaya baca, pemuda Indonesia berisiko menjadi generasi yang meredup di tengah kemajuan zaman, bukan menjadi motor penggerak perubahan yang diharapkan.
Fenomena ini dapat dianalisis menggunakan teori strukturasi Anthony Giddens, yang menekankan hubungan dialektis antara agen (individu) dan struktur (aturan serta sumber daya sosial) dalam praktik sosial sehari-hari. Giddens berargumen bahwa agen dan struktur bukanlah dua entitas terpisah, melainkan saling bergantung dan membentuk satu sama lain secara berkelanjutan. Dalam konteks revolusi digital, pemuda sebagai agen memiliki kapasitas refleksif dan pengetahuan (stock of knowledge) untuk menggunakan teknologi digital sebagai sarana berinteraksi, belajar, dan berinovasi. Namun, mereka juga dibatasi dan dibentuk oleh struktur sosial digital yang ada, seperti norma media sosial, akses teknologi yang tidak merata, dan tekanan budaya digital yang terus berkembang. Struktur digital ini bukan hanya membatasi, tetapi juga memberdayakan pemuda, tergantung pada bagaimana mereka mengelola dan mereproduksi praktik sosial tersebut.
Misalnya, dalam dunia digital, pemuda dapat memanfaatkan media sosial dan platform teknologi untuk membangun jaringan sosial dan ekonomi baru, namun mereka juga menghadapi risiko alienasi, tekanan ekspektasi, dan ketergantungan pada teknologi yang dapat menghambat kreativitas dan kesejahteraan psikologis. Giddens juga menekankan pentingnya dimensi waktu dan ruang dalam tindakan sosial, yang dalam revolusi digital berarti pemuda dapat berinteraksi lintas batas geografis dan waktu, tetapi sekaligus harus menghadapi tantangan pengelolaan identitas dan informasi di ruang maya yang sangat dinamis dan cepat berubah.
Menurut saya, kasus ini menyatakan bahwa pemuda tidak hanya menjadi objek dari perubahan teknologi, melainkan agen aktif yang terus-menerus membentuk dan membangun struktur sosial digital. Namun, agar mereka dapat benar-benar adaptif dan tidak "meredup", diperlukan peningkatan kapasitas literasi digital yang komprehensif, kesadaran kritis terhadap dampak teknologi, serta dukungan kebijakan yang inklusif untuk mengatasi ketimpangan akses dan sumber daya digital. Pendekatan ini harus mengakui bahwa struktur digital bersifat dinamis dan dapat direproduksi atau diubah oleh tindakan kolektif pemuda. Dengan demikian, revolusi digital bukan hanya soal teknologi, melainkan juga soal bagaimana pemuda mampu mengelola hubungan dialektis antara agen dan struktur untuk menciptakan masa depan yang lebih berdaya dan berkeadilan.
KesimpulanÂ
Revolusi digital membawa peluang besar sekaligus tantangan mendalam bagi generasi muda Indonesia. Di tengah gempuran arus teknologi yang cepat dan tak terelakkan, pemuda dihadapkan pada dilema eksistensial: apakah mereka mampu beradaptasi dan memanfaatkan teknologi untuk berkembang, atau justru terperangkap dalam ketidaksiapan, rendahnya literasi digital, dan keterasingan identitas di ruang maya. Krisis literasi, rendahnya minat baca, serta dominasi konten instan menjadi hambatan nyata dalam menjadikan pemuda sebagai motor perubahan. Dengan menggunakan perspektif teori strukturasi Anthony Giddens, dapat disimpulkan bahwa pemuda bukan sekadar korban atau penerima dampak digitalisasi, tetapi juga agen aktif yang mampu membentuk dan mengubah struktur sosial digital. Oleh karena itu, untuk benar-benar adaptif di era digital, pemuda perlu dibekali dengan kapasitas literasi digital yang menyeluruh, kesadaran kritis, serta dukungan struktural berupa kebijakan yang inklusif dan adil. Hanya dengan cara ini, pemuda dapat menjawab tantangan zaman dan membangun masa depan yang lebih bermakna di tengah dunia digital yang terus berubah.Â