Pernahkah kamu bertanya, kenapa di negeri tropis dengan keragaman warna kulit yang begitu kaya, justru kulit putih yang terus-menerus dijual sebagai lambang kecantikan? Apakah ini sekadar preferensi visual, atau ada narasi panjang yang membentuknya? Di balik tren pemutih kulit dan kampanye kecantikan berwajah cerah, tersembunyi realitas yang lebih kompleks tentang sejarah, kekuasaan, hingga rasa tidak percaya diri yang diwariskan secara kolektif.
Tulisan ini mengajakmu melihat lebih dalam. Bukan sekadar menyoal kulit putih sebagai warna, tapi sebagai simbol. Kita akan menguliti narasi lama yang selama ini tersembunyi dalam produk kosmetik, layar kaca, dan obrolan sehari-hari. Dan siapa tahu, setelah membaca ini, kamu akan mulai memandang cermin dengan cara yang berbeda.
Kecantikan yang Ditentukan oleh Kuasa, Bukan Rasa
Indonesia tidak pernah benar-benar lepas dari warisan kolonial. Meski kemerdekaan telah diraih, mentalitas yang diwariskan lewat penjajahan masih bercokol kuat, bahkan dalam hal yang tampaknya sepele: standar kecantikan. Pada masa penjajahan, kulit putih adalah simbol kekuasaan, dominasi, dan 'kelas atas'. Perempuan Indo-Eropa dengan kulit cerah lebih mudah mendapat akses pendidikan, pekerjaan, bahkan cinta. Sedangkan wanita dengan kulit hitam akan ditempatkan sebagai seorang pelayan, pekerja kasar, atau tempat yang rendah dan tidak masuk hitungan .
Memori ini tidak benar-benar hilang. Ia bertransformasi menjadi aspirasi dalam budaya pop dan industri kecantikan. Kulit putih tidak lagi dilihat sebagai tanda ras tertentu, tapi sebagai status sosial. Iklan-iklan pemutih kulit tidak menjual produk, melainkan janji: jika kamu putih, kamu akan dicintai, sukses, dan diterima. Maka tidak mengherankan jika perempuan muda dari Sabang sampai Merauke tumbuh dengan keyakinan bahwa menjadi cantik berarti menjadi putih, meskipun itu artinya menjauh dari jati diri.
Ketika Kosmetik Menjual Rasa Baik Tidak Cukup
Industri kecantikan bukan sekadar menciptakan kebutuhan; ia membentuk cara pikir. Di Indonesia, pasar produk pemutih kulit bernilai miliaran rupiah setiap tahun. Dari sabun, lotion, serum, hingga suntik vitamin C, semua menawarkan janji yang sama: warna kulit yang lebih terang. Tapi kenapa harus putih? Jawabannya bukan karena putih lebih sehat atau lebih cantik secara ilmiah, melainkan karena itu yang diprogramkan lewat iklan, media, dan budaya.
Kamu mungkin tidak menyadari bahwa banyak istilah seperti mencerahkan , menyamarkan noda , atau kulit tampak glowing adalah bentuk lain dari narasi kulit gelap itu masalah . Kata-kata ini tidak bersifat netral. Ia mengasumsikan bahwa warna kulit alami seseorang bukan sesuatu yang bisa dibanggakan, tapi kekurangan yang harus diperbaiki.
Yang lebih mengkhawatirkan, banyak produk pemutih yang tidak aman beredar di pasaran, mengandung merkuri, hidrokuinon, atau bahan keras lainnya. Namun, konsumen tetap menggunakannya karena iming-iming menjadi lebih menarik di mata masyarakat. Dalam hal ini, industri tidak hanya menjual produk, tapi juga kegelisahan kolektif dan mereka berhasil.
Kecantikan dalam Bingkai Media Siapa yang Boleh Tampil Cantik?