Ada masa ketika seorang wanita memutuskan menutup auratnya, langit pun terasa ikut bersaksi.
Langkahnya mungkin masih goyah, namun niatnya mengangkasa. Ia tahu, hijab bukan sekadar kain---ia adalah pernyataan. Ia bukan hiasan kepala, tapi penegas arah hidup. Ia bukan beban budaya, tapi bukti tunduk kepada Tuhan.
Namun hari-hari ini, seolah angin media lebih kencang dari bisikan nurani.
Hijab tak lagi dilihat sebagai kemuliaan, tapi sebagai simbol yang bisa dikenakan... atau ditanggalkan sesuai suasana hati dan selera publik.
Yang dulu dikenakan dengan tangis haru, kini dilepas dengan caption penuh gaya dan riasan.
Yang dulu diperjuangkan sebagai bentuk taat, kini ditanggalkan dengan dalih "aku hanya sedang jujur pada diriku."
Maka kita pun bertanya dalam diam yang perih:
Benarkah kejujuran itu lebih tinggi dari ketaatan?
Benarkah Tuhan hanya pantas ditaati ketika hati sedang lapang?
Sesungguhnya jalan kebenaran itu tidak selalu nyaman.
Kadang ia menuntut kita menahan diri dari sorotan, menundukkan ego yang ingin selalu disukai, dan bersabar meski dicibir karena tak sesuai selera zaman.
Tapi bukankah surga itu dijanjikan bukan untuk yang populer,
melainkan untuk yang sabar dan tunduk dalam sepi?
Hijab adalah perisai. Bukan dari cuaca...
tapi dari fitnah.
Ia bukan penghalang kebebasan, tapi pembebas dari standar dunia yang menjadikan tubuh sebagai pajangan, dan kehormatan sebagai barang lelang.
Menanggalkan hijab mungkin terlihat sederhana.
Tapi setiap helaian rambut yang kembali terbuka,
setiap pandangan yang kembali dilonggarkan,
bukan hanya menciptakan narasi baru untuk dunia...
tapi juga membentuk luka di hati para muslimah yang sedang belajar istiqamah.
Bukan untuk menghakimi,
karena kita semua sedang berjalan di jalan yang sama:
menuju Allah, membawa beban, dengan iman yang naik-turun.
Tapi justru karena cinta, kita mengingatkan:
jangan menjadikan godaan dunia sebagai arah kompas.
Karena dunia ini fana,
sementara hijab adalah salah satu bekal menuju yang kekal.
Jangan lepaskan mahkota syar'i hanya karena dunia berkata:
"Jadilah dirimu."
Sebab diri kita yang sejati, adalah diri yang tunduk kepada syariat-Nya,
bukan diri yang sekadar bebas mengekspresikan kehendak.
Allah tidak memerintahkan kita menjadi "apa adanya",
tapi menjadi "sebagaimana yang Dia ridhai."
Wahai saudariku, jika hijab terasa berat, jangan kau lepas...
tapi istirahatlah sejenak.
Menangislah di hadapan-Nya, bukan di kolom komentar.
Berjuanglah dalam diam, bukan dengan pengumuman.
Karena dalam dunia yang bising oleh pujian palsu dan tepuk tangan fana,
kesucian itu hanya bisa dijaga oleh yang tetap memilih diam dalam taat,
dan istiqamah dalam syariat.