"Jangan bermitra. Berat. Kamu gak akan kuat. Tapi... sendirian lebih nyesek."
Menulis judul ini mengingatkan saya pada dua hal: film Dilan, dan pengalaman gagal membangun usaha.
Saya dulu seperti Dilan, ingin menanggung segalanya sendiri.
Bukan rindu, tapi usaha.
Saya pikir, kalau semua bisa saya urus sendiri, hasilnya akan terasa lebih murni. Tak perlu menunggu, tak perlu kompromi. Saya bebas.
Tapi siapa sangka, justru dari niat "ingin bebas" itulah saya mulai kehilangan arah.
Saya lelah, bukan karena usaha ini salah. Tapi karena saya terlalu ingin menanggung semuanya sendirian.
Dan di sanalah, saya mulai merasa: mungkin yang berat bukan bermitra... tapi menolak untuk percaya orang lain.
The Power of Solopreneur: Tapi Sampai Kapan?
Saya tak menyesal pernah memilih jadi solopreneur.
Ada kepuasan tersendiri ketika semua keputusan ada di tangan sendiri: cepat, efisien, tanpa perlu diskusi panjang.
Saya bisa mengatur arah, ritme, bahkan branding usaha sesuka hati.
Dan setiap keberhasilan terasa utuh milik saya, tanpa perlu berbagi kredit dengan siapa pun.
Tapi ternyata, kenikmatan itu hanya indah di awal.
Ketika pesanan mulai bertambah, pelanggan makin cerewet, dan jam tidur makin pendek, saya mulai kewalahan.
Rasanya seperti menari di panggung sendiri, dengan musik yang saya putar sendiri, dan lampu sorot yang harus saya nyalakan sendiri.
Lama-lama saya sadar: saya tidak sedang merencanakan keberhasilan.
Saya hanya berputar di tempat, demi memastikan semuanya tetap "saya pegang".