Di Antara Bali dan Tangsel
Saya masih ingat dengan jelas, sebelum mengenal huruf dan angka, saya pernah tinggal selama satu tahun di Bali. Usia saya waktu itu belum cukup untuk masuk sekolah. Tapi justru di sanalah saya mulai belajar bukan dari buku, tapi dari alam, budaya, dan kehidupan.
Bali bukan sekadar tempat. Ia adalah memori masa kecil yang tenang dan syahdu. Setiap pagi saya melihat persembahan di depan rumah, merasakan hangatnya matahari yang bersinar lembut di antara pohon kelapa, dan mendengar suara gamelan mengalun dari kejauhan. Saya tidak mengerti semua itu, tapi saya merasakannya ketenangan, keikhlasan, dan penghormatan pada kehidupan.
Kini saya tinggal dan berkarya di Tangerang Selatan Tangsel. Sebuah kota urban modern yang menjadi bagian dari denyut nadi ibu kota. Di sinilah saya membangun bisnis, menulis buku, menjadi pembicara, sekaligus mengasah diri dalam dunia yang sangat berbeda dari Bali.
Tangsel dan Bali bagaikan dua sisi mata uang.
Bali membentang luas hampir 5.800 km dengan lebih dari 4 juta penduduk yang hidup dalam harmoni budaya. Tangsel jauh lebih kecil, hanya sekitar 147 km, namun dihuni lebih dari 1,8 juta orang yang sibuk dan dinamis. Bali berjalan pelan, penuh makna. Tangsel melaju cepat, penuh peluang.
Di Bali, orang hidup dalam irama alam dan adat. Mayoritas penduduknya memeluk agama Hindu, dan kehidupan spiritual menjadi bagian dari aktivitas sehari-hari. Sementara di Tangsel, dengan mayoritas penduduk Muslim, kehidupan religius juga terasa, namun lebih berpadu dengan ritme modern masjid, sekolah, pusat perbelanjaan, hingga startup teknologi.
Dari segi ekonomi, Tangsel memiliki pendapatan per kapita lebih dari Rp120 juta per tahun, menandakan kelas menengah yang kuat dan gaya hidup yang terus tumbuh. Sementara Bali, meskipun sempat terpukul saat pandemi melanda, tetap menjadi ikon pariwisata dunia dengan pendapatan per kapita sekitar Rp65 juta per tahun.
Dari sisi pendidikan, perbedaannya tak kalah menarik.