Rujukan sebuah ramalan terhadap sebuah entitas anomali dari mimpi Raja Nebukad Nezar dengan kaki "sebagian besi dan sebagian tanah liat," sebuah gambaran yang secara historis sering diinterpretasikan sebagai representasi kekuatan dan kerapuhan kerajaan-kerajaan pasca-Romawi yang pada akhirnya membentuk lanskap Eropa. Namun, melampaui geografi, metafora ini secara mengejutkan relevan untuk memahami riwayat dan struktur sistem hukum Indonesia yang kompleks, warisan dari percampuran budaya dan kekuasaan yang panjang. Analisis ini akan membedah bagaimana jejak Babilonia, Medio-Persia, Yunani, dan khususnya Romawi, telah berinkarnasi dalam tubuh hukum nasional kita, membentuk fondasinya yang kokoh (besi) sekaligus mengakomodasi karakteristik lokal yang lentur (tanah liat).
Babilonia, melalui Kode Hammurabi (sekitar 1754 SM), mungkin tidak secara langsung menginjeksi aliran hukum dan aturannya ke dalam sistem hukum Indonesia kita. Namun, ia menyumbangkan prinsip revolusioner: hukum harus tertulis dan dapat diakses. Ini adalah embrio kepastian hukum dan supremasi hukum, gagasan bahwa keadilan tidak tunduk pada penguasa. Sebuah prekursor fundamental bagi setiap sistem hukum modern yang menganut negara hukum. Gagasan proporsionalitas hukuman dan klasifikasi hukum pun bermula dari sini.
Kemudian, Medio-Persia (550-330 SM) memperkuat konsep stabilitas hukum.Â
Jejak Besi dan Tanah Liat dalam DNA Hukum Indonesia
Meskipun terpisah ribuan kilometer dan milenium, peradaban kuno seperti Babilonia dengan Kode Hammurabi-nya, menawarkan prinsip fundamental yang abadi: kodifikasi hukum tertulis. Ini adalah embrio gagasan bahwa hukum harus eksplisit, dapat diakses, dan diterapkan secara proporsional---konsep yang fundamental bagi setiap negara hukum modern, termasuk Indonesia. Meskipun tidak ada adopsi langsung, ide dasar tentang kepastian hukum dan keadilan retributif dari Babilonia secara tidak langsung membuka jalan bagi pemikiran hukum di kemudian hari.
Selanjutnya, Medio-Persia menyumbang konsep stabilitas hukum melalui "hukum Medio dan Persia yang tidak dapat diubah." Ini menanamkan benih penting bagi prinsip non-retroaktif dan kepastian hukum yang krusial dalam sistem perundang-undangan nasional, menjamin bahwa hukum yang telah ditetapkan memiliki kekuatan yang mengikat dan tidak dapat dibatalkan secara sewenang-wenang.
Yunani Kuno, kendati lebih dikenal karena filsafatnya, memberikan kontribusi intelektual yang monumental. Diskusi mereka tentang demokrasi, partisipasi warga dalam pembentukan hukum, dan gagasan hukum alam (sebuah keadilan yang melampaui buatan manusia) menanamkan benih-benih hak asasi manusia dan kedaulatan rakyat. Konsep-konsep ini, meskipun tidak langsung menjadi pasal undang-undang, membentuk dasar filosofis bagi legitimasi hukum dalam masyarakat demokratis, termasuk Indonesia yang menganut prinsip kedaulatan rakyat.
Hegemoni Romawi: Pilar "Besi" Hukum Indonesia
Inilah titik kritis di mana "besi" dari ramalan Nabi Daniel secara harfiah terwujud. Hukum Romawi adalah pilar yang tak tergoyahkan bagi sistem hukum sipil (Civil Law) yang dominan di sebagian besar Eropa kontinental, dan secara fundamental menjadi DNA utama sistem hukum Indonesia.
Setelah "Renaissance Hukum Romawi" di Abad Pertengahan, kompilasi Corpus Juris Civilis (Hukum Yustinianus) menjadi model bagi kodifikasi hukum modern. Indonesia, sebagai bekas koloni Belanda, mewarisi sistem hukum yang sangat didominasi oleh tradisi Civil Law Eropa. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) kita adalah bukti nyata adopsi substansial dari kode-kode Eropa kontinental, yang pada gilirannya merupakan turunan langsung dari prinsip-prinsip Hukum Romawi.
Pengaruh Romawi tidak hanya sebatas kodifikasi. Konsep-konsep fundamental seperti:
 * Hak kepemilikan (dominium)