Clean Surplus Theory atau CST dalam dunia akuntansi keuangan sempat menarik perhatian luas karena menawarkan pendekatan elegan untuk menilai nilai wajar suatu perusahaan dengan hanya menggunakan informasi akuntansi, khususnya laba bersih dan nilai buku ekuitas.
Lihat juga: Mengenal Clean Surplus Theory
Teori dari Ohlson (1995) ini menyatakan bahwa nilai pasar suatu perusahaan dapat diperkirakan dari nilai sekarang (present value) dari laba abnormal (abnormal earnings) yang diproyeksikan, ditambah nilai buku saat ini. Asumsinya sederhana namun kuat. Setiap perubahan dalam ekuitas pemegang saham---selain dari transaksi langsung seperti penerbitan saham atau pembayaran dividen---harus dan akan tercermin dalam laba bersih. Inilah prinsip dasar CST
Namun demikian, teori ini menyimpan kelemahan fundamental yang membuat banyak pihak mempertanyakan keandalannya dalam praktik nyata. Salah satu titik lemah yang paling menonjol adalah kenyataan bahwa sistem akuntansi modern tidak sepenuhnya mematuhi prinsip CST. Berbagai transaksi dan penyesuaian nilai dimasukkan ke dalam komponen other comprehensive income (OCI), bukan ke dalam laba rugi. Artinya, meskipun angka tersebut berdampak signifikan terhadap nilai ekuitas, mereka tidak tercermin dalam laba bersih yang digunakan dalam CST. Sebagai contoh, keuntungan atau kerugian akibat revaluasi aset tetap, translasi mata uang asing, atau perubahan nilai wajar instrumen keuangan seringkali hanya disajikan dalam OCI dan melewati laporan laba rugi. Hal ini melanggar asumsi inti bahwa semua perubahan nilai harus "bersih" melewati laporan laba rugi.
Teori ini bergantung pada sejumlah asumsi lain yang dalam praktiknya sulit dipenuhi. Salah satunya adalah asumsi persistensi laba abnormal, yakni keyakinan bahwa kelebihan laba atas biaya modal akan berlanjut secara stabil ke masa depan. Namun, banyak studi empiris menemukan bahwa laba abnormal sering kali bersifat sementara dan sangat dipengaruhi oleh kondisi industri, siklus bisnis, dan bahkan kebijakan akuntansi manajemen. Model ini juga sangat sensitif terhadap kesalahan pengukuran dan manipulasi laba, yang menjadi semakin relevan dalam era ketika tekanan terhadap manajer untuk memenuhi ekspektasi pasar sangat tinggi.
Selain itu, keberhasilan CST dalam menjelaskan nilai pasar saham tidak secara konsisten lebih unggul dibandingkan model lain seperti discounted cash flow atau dividend discount model. Peneliti-peneliti menunjukkan bahwa dalam banyak kasus, model berbasis arus kas atau bahkan model residu laba yang disesuaikan dengan pengakuan laba realistis mampu memberikan hasil yang lebih robust dan akurat.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI