Dalam era pengembangan perangkat lunak modern yang penuh tuntutan kecepatan dan efisiensi, perusahaan mudah terjebak dalam mengejar hasil tanpa merenungkan proses. Namun, di balik setiap produk digital yang sukses, ada proses kolaboratif yang tak hanya cerdas secara teknis, tapi juga sarat nilai-nilai etika. Di sinilah Scrum hadir bukan sekadar sebagai kerangka kerja, tetapi sebagai budaya kerja yang mengintegrasikan keutamaan moral dan kolaborasi sejati.
Scrum, kerangka kerja empiris yang diperkenalkan oleh Ken Schwaber dan Jeff Sutherland dalam konferensi Object-Oriented Programming, Systems, Languages & Applications (OOPSLA) pada 1995, menekankan proses iteratif, adaptif, dan berbasis pengalaman langsung. Scrum tidak hanya memiliki kemampuan dalam hal kecepatan menyelesaikan proyek, lebih dari itu Scrum memiliki nilai-nilai etis yang melekat pada setiap prosesnya.
Pilar dan Peran dalam Scrum: Etika dalam Struktur
Scrum berdiri di atas tiga pilar utama: transparansi, inspeksi, dan adaptasi.Â
Ketiganya bukan sekadar prinsip teknis, melainkan cermin dari nilai-nilai moral: kejujuran, evaluasi diri, dan keterbukaan untuk berubah. Scrum memiliki tiga peran utama (struktur dan tanggung jawab tim). Dalam struktur perannya, Scrum menempatkan tanggung jawab secara kolektif. Ada Product Owner yang menjaga nilai produk dan prioritas bisnis, Scrum Master sebagai fasilitator yang menjaga semangat dan praktik Scrum, serta Development Team yang mengerjakan solusi secara lintas fungsi.
Sprint: Proses Iteratif yang Mengasah Karakter
Setiap proyek dalam Scrum berlangsung dalam Sprint berdurasi satu sampai empat minggu. Lima tahapannya: Sprint Planning, Daily Scrum, Sprint Review, Sprint Retrospective, dan Backlog Refinement (opsional)---menyimpan potensi besar dalam mengembangkan keutamaan karakter.
Dalam tahap Sprint Planning, item-item yang akan dikerjakan dari backlog, dan estimasi kapasitas tim ditentukan. Daily Scrum adalah pertemuan harian berdurasi 15 menit  yang dilakukan pada awal hari kerja. Pada pertemuan ini setiap anggota tim tak hanya bicara soal progres dan rencana hari ini, tapi juga berbagi kendala dengan kejujuran dan rasa tanggung jawab.
Pada Sprint Review, tim mempresentasikan hasil kerja kepada stakeholder. Tak hanya menunjukkan keberhasilan, mereka juga terbuka terhadap kekurangan. Nilai seperti keberanian, keterbukaan, dan komitmen pada kualitas sangat terlihat. (Commitment to Excellence).
Dalam Sprint Retrospective, anggota tim diajak melakukan refleksi mendalam---bukan hanya soal teknis, tapi juga tentang bagaimana mereka berinteraksi dan berkembang sebagai pribadi selama sprint berlangsung. Tahap ini dilakukan setiap akhir satu sprint dengan durasi 45 menit (untuk sprint durasi pendek) sampai tiga jam (untuk sprint dengan durasi sebulan). Contoh konkret berdasarkan pengalaman adalah dalam pengembangan Sistem Informasi Rumah Sakit (SIR), dimana seorang anggota tim mengakui bahwa ia gagal memprioritaskan tugas dengan baik karena terlalu fokus memperbaiki bug kecil. Ia menyampaikan hal itu dengan rasa malu, tapi juga keberanian. Itulah wujud nyata etika keutamaan: kejujuran, tanggung jawab, dan keterbukaan.
Terakhir, di tahap opsional Backlog Refinement, tim menyusun backlog berikutnya dengan diskusi terbuka, mencerminkan rasa hormat dan tanggung jawab bersama. Dengan demikian, sprint bukan sekadar cara bekerja. Ia adalah proses membangun karakter: lewat kejujuran, refleksi, dan kolaborasi yang bermakna.