Kalau dengar kata nuklir, kebanyakan orang langsung keinget ledakan dahsyat di Hiroshima dan Nagasaki tahun 1945. Dua kota itu luluh lantak, dan sejak saat itu, nuklir dicap sebagai simbol kehancuran. Padahal, kalau dipikir-pikir, energi nuklir itu bukan barang baru buat peradaban manusia. Matahari yang tiap hari kita nikmati sinarnya itu hasil dari reaksi fusi nuklir di angkasa. Artinya, nuklir itu bukan cuma soal senjata, tapi juga soal manfaat kalau dikelola dengan benar --- buat listrik, kesehatan, pertanian, sampai industri.Â
Masalahnya, sejak awal abad ke-20, reaksi inti atom udah jadi bahan riset. Dan begitu manusia tahu betapa dahsyatnya energi yang bisa dihasilkan, arah pikirannya langsung ke senjata. Bukan cuma soal listrik atau pengobatan. Itulah kenapa waktu Perang Dunia II selesai, dunia masuk era baru yang disebut atomic age. Semua negara, apalagi dua raksasa politik dunia saat itu --- Amerika Serikat dan Uni Soviet --- berlomba-lomba bikin teknologi nuklir. Tapi ya gitu, nggak semuanya buat damai, banyak juga yang buat pamer kekuatan. Waktu itu, AS curiga banget sama Uni Soviet. Biar ngga kecolongan, AS bikin program Atoms for Peace, kampanye yang katanya sih buat nuklir damai, tapi sebenernya buat jaga-jaga biar Soviet nggak bisa nyamain persenjataan nuklirnya. Diplomasi kamuflase lah istilahnya. Nah, di tengah situasi panas kayak gitu, Indonesia juga nggak tinggal diam. Tahun 1957, IAEA (International Atomic Energy Agency) lahir, dan Indonesia ikut ambil peran sebagai anggota sekaligus panitia. Indonesia diwajibkan urun dana, bikin lembaga nasional soal nuklir, dan Bersiap-siap menghadapi era baru teknologi ini. Semua itu sejalan sama visi Sukarno, yang sejak awal pengen Indonesia nggak cuma jadi penonton dalam perkembangan teknologi modern. Yang menarik, Sukarno dari awal tegas bilang Indonesia nggak bakal bikin senjata nuklir. Karena itu bertentangan sama prinsip politik luar negeri Indonesia yang cinta damai. Tapi bukan berarti beliau anti sama nuklir. Justru sebaliknya --- nuklir harus dikuasai demi kepentingan pembangunan dan kemajuan bangsa.Â
JADI INTINYA BEGINI: damai boleh, tapi jangan sampai bangsa ini keteteran dalam hal teknologi. Makanya, tahun 1954 dibentuk Panitia Penjelidikan Radioaktivitet dan Tenaga Atom (PPRTA). Tapi karena masih terbatas, akhirnya diganti jadi Dewan Tenaga Atom (DTA) dan Lembaga Tenaga Atom (LTA) lewat PP No. 65 Tahun 1958. DTA tugasnya ngasih nasihat ke pemerintah soal perkembangan nuklir global, sedangkan LTA ngurusin pembangunan reaktor nuklir buat tujuan damai. Yang sering orang lupa, proyek nuklir Indonesia nggak cuma jalan bareng AS. Kita juga kerja sama sama Uni Soviet dan negara-negara lain. Banyak ilmuwan Indonesia yang dikirim belajar nuklir ke luar negeri. Tapi memasuki tahun 1960-an, proyek ini mulai masuk ranah politik.Â
Bukan sekadar soal riset atau listrik lagi, tapi jadi bagian dari strategi geopolitik Indonesia di tengah ketegangan Perang Dingin. Kenapa Ini Penting? Karena dari sini kita bisa lihat, bahkan di masa lalu pun, Indonesia udah punya posisi tawar dalam isu global. Sukarno paham betul kalau negara-negara besar selalu punya agenda tersembunyi. Dan Indonesia nggak boleh cuma jadi objek, tapi harus bisa main di level yang sama.
Teknologi nuklir waktu itu jadi alat diplomasi sekaligus simbol bahwa bangsa ini nggak mau diremehkan. Hari ini, ketika isu energi dan geopolitik makin panas lagi, kita harus belajar dari langkah berani dan cerdik Sukarno. Bahwa teknologi itu netral, manusianya yang nentuin mau dipakai buat damai atau perang. Dan Indonesia harus tetap pegang prinsip, tapi jangan gaptek dan jadi penonton di rumah sendiri.
Tujuan Awal dan Orientasi Proyek Nuklir Sukarno
 Pada awal era 1950-an hingga awal 1960-an, pemerintahan Sukarno memandang teknologi nuklir terutama sebagai sumber energi dan kemajuan ilmu pengetahuan, bukan senjata. Pada 1954 Sukarno membentuk Panitia Penyelidikan Radioaktif dan Tenaga Atom (PPRTA), lalu 1958 berdiri Lembaga Tenaga Atom (LTA) sebagai lembaga riset nuklir. Ia meresmikan dua reaktor riset nuklir: TRIGA Mark II Bandung (dibantu AS, 1961) dan IRT-2000 Serpong (bantuan Uni Soviet, 1965) untuk keperluan damai dan pembangkit energi. Sikap Sukarno saat itu masih menolak penggunaan senjata nuklir: "Indonesia tak tertarik membangun senjata nuklir... Nuklir dimanfaatkan semata untuk tujuan-tujuan damai," tulis Teuku Reza Fadeli. Namun, dinamika regional dan global membuat orientasi ini bergeser. Setelah China sukses uji coba bom atom (Okt 1964), Sukarno mulai mengubah pandangannya. Ia menganggap bom nuklir sebagai simbol kekuatan dan alat politik untuk menjaga kedaulatan nasional. Pada Juli 1965 Sukarno bahkan secara terbuka menyatakan, "Insya Allah dalam waktu dekat ini kita akan berhasil membuat bom atom sendiri". Perubahan tujuan ini berkaitan dengan politik luar negeri konfrontatif Sukarno: nuklir menjadi penunjang "Politik Mercusuar" dan "Politik Konfrontasi" melawan pengaruh Barat di Asia Tenggara. Konteks Geopolitik dan Hubungan Internasional Kebijakan nuklir Sukarno tidak terlepas dari konteks Perang Dingin dan konstelasi geopolitik Asia Tenggara. Sukarno memandang pembentukan Federasi Malaysia (1963) oleh Inggris sebagai ancaman neokolonial dan beralih berkonfrontasi secara militer (Konfrontasi), ditambah kehadiran militer AS di Vietnam, sebagai potensi bahaya bagi Indonesia. Dalam kondisi tegang tersebut, nuklir dipandang sebagai penguat posisi strategis: detterensi terhadap campur tangan asing dan meningkatkan prestise Indonesia di mata negara-negara Afro-Asia. Politik luar negeri Sukarno pun beralih ke poros Timur. Ia membangun "Poros Jakarta--Peking" dan bergabung dalam gerakan kekuatan baru non-Blok (NEFO) bersama Korea Utara, Vietnam, Kamboja, dan India. Indonesia bahkan sempat keluar dari PBB sebagai protes dukungan Barat kepada Malaysia. Dukungan Republik Rakyat Cina (RRC) juga penting dalam periode ini: China memberikan selamat setelah uji coba 1964 dan sempat diajak kerjasama teknologi nuklir. Namun, dokumen RRC menunjukkan China pada dasarnya hanya mendorong Indonesia mengembangkan nuklir sendiri tanpa memberikan senjata. Negara-negara Barat pun waspada melihat ambisi nuklir Sukarno; mereka mengumpulkan intelijen dan bahkan merencanakan respons diplomatik jika Indonesia benar-benar mendeklarasikan uji nuklir. Hambatan Utama Proyek Nuklir Sukarno Proyek nuklir Sukarno menghadapi banyak kendala teknis, politik, dan diplomatik.Â
Secara teknis, Indonesia belum memiliki infrastruktur nuklir yang memadai untuk senjata. Laporan intelijen AS mencatat bahwa Indonesia "tidak memiliki kemampuan untuk menghasilkan bom atom tanpa bantuan luar". Bantuan barat dibatasi hanya untuk keperluan damai, dan meski Sukarno berharap bantuan China, RRC pada akhirnya menolak memindahkan teknologi senjata nuklir (menyarankan Indonesia membuat sendiri). Situasi politik dalam negeri juga mengganggu. Ketegangan antara Angkatan Darat dan PKI memuncak menjelang G30S 1965. Konflik internal ini melemahkan stabilitas nasional; setelah kudeta gagal, kekuasaan Sukarno runtuh dan program nuklirnya terbengkalai.Â
Secara diplomatik, pergeseran rezim mengubah arah kebijakan: rezim Orde Baru di bawah Suharto segera menandatangani perjanjian pengawasan internasional (safeguards) bagi bantuan nuklir dari AS pada 1967, menandai berakhirnya ambisi senjata nuklir. Faktor sumber daya ekonomi dan pergeseran fokus pembangunan yang mendesak setelah krisis politik juga turut menghambat kelanjutan riset nuklir Sukarno.Â