Gigi itu unik. Ia keras, kaku, tak bisa bicara. Tapi justru karena itu, gigi tidak bisa berbohong. Dalam diamnya, gigi menyimpan banyak cerita---mulai dari rasa sakit, gaya hidup, kebiasaan, hingga identitas manusia itu sendiri.
Sebagai seorang dokter gigi yang juga berkecimpung di dunia forensik, saya menyaksikan sendiri bagaimana gigi menjadi salah satu saksi paling jujur dalam banyak kasus.Â
Bukan hanya soal kesehatan mulut, tapi juga dalam kasus identifikasi jenazah, investigasi kriminal, hingga pembuktian usia atau jenis kelamin seseorang.
Mari kita mulai dari yang paling sehari-hari dulu: rasa sakit. Tak ada gigi yang bisa "berpura-pura" baik-baik saja. Sakit gigi selalu muncul dengan jujur dan sering kali meledak tanpa aba-aba.Â
Banyak pasien yang datang ke klinik berkata, "Baru kemarin sakitnya muncul, Dok," padahal saat diperiksa, lubangnya sudah cukup dalam, sarafnya sudah terinfeksi, dan tambalan darurat tak lagi cukup. Gigi memberi alarm ketika ia tak bisa menahan lagi tekanan dari kelalaian kita sendiri.
Tapi kejujuran gigi tidak berhenti pada rasa sakit. Ia menyimpan data. Gigi adalah rekam jejak masa lalu: dari jenis makanan yang sering dikonsumsi, kebiasaan menyikat, trauma benturan, hingga perawatan yang pernah dilakukan.Â
Dalam dunia forensik, tambalan amalgam, mahkota gigi, bahkan bekas cabutan bisa menjadi 'sidik jari' yang membantu mengenali jenazah.
Saya teringat pada salah satu kasus DVI (Disaster Victim Identification) di mana tim forensik kesulitan mengidentifikasi seorang jenazah karena dokumen dan sidik jarinya lenyap. Tapi ada satu petunjuk yang tersisa: gigi.Â
Dari susunan gigi, tambalan di gigi 26, dan celah khas di gigi depan, kami berhasil mencocokkan dengan rekam medis gigi milik korban yang tersimpan di klinik tempat ia pernah berobat. Jenazah itu akhirnya kembali ke keluarganya dengan nama yang benar. Semua itu karena gigi.