Laiknya lari gawang, tantangan ekonomi yang mesti dilewati sudah berbaris di depan. Beberapa hari ini, tensi geopolitik kembali meninggi sejak Iran dan Israel kembali bertikai. Belum lagi ada indikasi menurunnya intensitas perang, Juli mendatang, berbagai negara mesti bersiap menghadapi pemberlakuan kebijakan tarif Trump.
Peliknya Geopolitik
Yang dikhawatirkan dari perang antara Iran dengan Israel adalah dampak rembetannya. Terjadinya eskalasi partisipan dalam konflik cukup memungkinkan. Amerika Serikat sudah mulai turut campur membantu Israel dengan menyerang tiga situs nuklir Iran. Sebagian besar negara-negara anggota G7 pun mengambil sikap pro-Israel.
Dengan mulai bergeraknya negeri Paman Sam itu, dunia mulai mengkhawatirkan reaksi bangsa-bangsa proksi Iran, baik dari Timur Tengah maupun kawasan lainnya, seperti Rusia, Tiongkok, bahkan Korea Utara. Tidak mustahil, mereka akan mengambil sikap seperti Amerika Serikat tetapi di kubu yang berseberangan.
Atas dasar itu, tidak berlebihan jika para pengamat memprediksi apabila konflik dua negara tidak diredam, maka potensi terjadi perang dunia ketiga.
Rembetan lainnya, yang sangat vital, yakni terganggunya mobilitas ekonomi, khususnya terkait komoditas utama global. Iran masuk dalam ranking sepuluh besar dunia produsen minyak bumi dan peringkat tiga besar penghasil gas alam.Â
Minyak dan gas merupakan komoditas alam yang masih sulit tergantikan. Selain itu, Iran juga menguasai wilayah Selat Hormuz. Selat tersebut merupakan jalur utama untuk ekspor minyak bumi dari negara-negara Arab. Sekitar seperlima pasokan minyak dunia yang diekspor ke berbagai negara, termasuk Eropa dan Amerika, harus melewati jalur itu.
Kabar terakhir yang beredar menyebutkan, parlemen Iran setuju untuk menutup Selat Hormuz pasca serangan Amerika Serikat. Jika benar-benar diterapkan, maka pasokan minyak dunia bakal tersendat. Imbasnya tentu kenaikan harga minyak yang trendnya memang sudah nampak sejak awal konflik.
Kenaikan harga minyak berpengaruh besar terhadap inflasi dan dapat pula menghambat pertumbuhan ekonomi. Kondisi itu tidak terlepas dari masih tingginya ketergantungan terhadap minyak, terutama bagi negara-negara net importir minyak. Untuk mencari substitusinya tentu membutuhkan waktu yang panjang.
Dilema Kebijakan