Di tepi dunia yang menggulung seperti peta tua, berdiri sebuah rumah tanpa pintu. Dindingnya terbuat dari waktu, atapnya dari sabar. Di dalamnya, seorang ayah tinggal bersama dua anak laki-lakinya---si sulung, yang terbuat dari batu dan musim tanam; dan si bungsu, anak angin yang tidak bisa diam.
Pada suatu pagi ketika kabut menggantung rendah seperti tirai yang enggan dibuka, si bungsu mendatangi ayahnya dengan mata penuh ombak. Ia tidak berkata apa-apa. Hanya menunjuk ke dada ayahnya---tempat harta dan hati bercampur---dan menggambar garis tak kasatmata di udara.
"Bagi hidupmu. Separuhnya untukku sekarang."
Ayahnya tak berkata apa-apa. Ia hanya berdiri lama, seolah menimbang apakah cinta bisa dibagi seperti roti. Lalu ia menyerahkan separuh hatinya, dan si bungsu pun pergi, membawa setengah kehidupan yang belum sempat ditanam.
Ia menunggangi mimpi ke kota yang tak disebut dalam kitab, menghamburkan hari-harinya di lorong-lorong warna neon dan cermin-cermin palsu.Â
Ia menari dengan api, tertawa bersama bayang-bayang, dan membayar malam dengan jiwa yang makin tipis. Sampai akhirnya, saat dunia kehilangan suara, dan kantongnya hanya berisi debu, langit menutup matanya. Kelaparan datang seperti karnaval yang membisu. Dan tak ada lagi pesta.
Ia bekerja di kandang babi. Di antara makhluk berkaki empat yang bahkan tidak menyebut namanya. Ia tidur bersama bau, makan bersama kehinaan.Â
Dan di tengah jerami dan busa busuk itu, satu kenangan menyelinap masuk: bau dapur ayahnya. Roti yang dibakar pelan. Tangan yang dulu mengusap kepalanya saat malam dingin datang.
"Aku akan pulang," bisiknya pada kegelapan. "Tapi bukan sebagai anak. Aku akan minta jadi bayang-bayang dari bayangan buruh rumah itu."
Ia pun berjalan pulang. Kakinya berdarah oleh ingatan, hatinya retak oleh harapan. Ia belum sampai di halaman ketika ayahnya melihatnya dari kejauhan.Â