Mohon tunggu...
Sigit Purwanto Ipung
Sigit Purwanto Ipung Mohon Tunggu... CEO and Founder Tempe Pinilih

bersama sebotol ciu menikmati hidup dan merayakan cinta

Selanjutnya

Tutup

Roman

Gabut

18 Mei 2025   14:38 Diperbarui: 18 Mei 2025   15:15 30
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Roman. Sumber ilustrasi: pixabay.com/qrzt

Kota-kota berdenyut seperti jantung buatan, memompa ilusi kemajuan ke dalam nadi yang sudah membatu. Kita menyebutnya "pertumbuhan", padahal yang bertumbuh hanya daftar keinginan yang menggerogoti tulang rusuk. Setiap pagi, tubuh bangkit dari mati suri algoritma, mengejar peta pencapaian yang digariskan oleh bayangan-bayangan di balik layar. Kehidupan nyata menjadi sekadar cameo dalam film panjang tentang kegagalan yang dibalut glitter.  

Di lorong-lorong supermarket, plastik dan harapan sama-sama dibungkus kedap udara. Langit menjatuhkan hujan asam ke atas atap-atap yang sibuk menimbun mimpi basi. Anak-anak kecil belajar menyebut "cinta" sambil menatap iklan rokok, sementara orang tua mereka sibuk mengukur harga diri lewat diskon akhir tahun. Kita adalah arsip berjalan---kolektor data tanpa jiwa, menyimpan memori di awan yang suatu hari akan menguap bersama semua tangisan yang tak sempat terucap.  

Aku masih menulis bukan karena kata-kata bisa menyembuhkan, tapi karena tinta yang merembes di kertas adalah bukti bahwa beberapa luka masih mau bernanah. Di tengah reruntuhan ini, kita mencuri makna seperti gelandangan mengais puntung rokok, isap sedikit tembakau hangus untuk menghangatkan paru-paru yang digerogoti kesepian. Mungkin itu saja yang tersisa---ritual kecil untuk membuktikan bahwa saraf-saraf kita belum sepenuhnya mati, bahwa kita masih bisa sakit saat menggenggam pecahan kaca dan menyebutnya berlian.  

Manusia modern adalah akrobat di atas kawat aus. Kita melompat dari satu aplikasi ke aplikasi lain, menjinjing ketakutan akan kesendirian di saku jas kita yang mahal. Agama? Ia kini jadi filter Instagram, dipakai hanya saat langit kelam atau hati retak. Sains menjelma tuhan baru, tapi jawabannya selalu lebih banyak pertanyaan. Di ujung lorong laboratorium, para jenius menangis karena menyadari mereka hanya sedang menulis epitaf untuk peradaban yang terlalu rakus mengunyah diri sendiri.  

Tapi di balik semua keputusasaan ini, ada semacam keindahan yang getir. Seperti mawar yang tumbuh di tanah tercemar, kita tertawa di tengah puing-puing karena tahu itu satu-satunya cara agar tangisan tak terdengar. Mungkin cinta memang mati, tapi lihat---kita masih membelai layar ponsel dengan lembut, seperti menyentuh punggung kekasih dalam gelap. Bunuh diri? Tidak. Kita terlalu keras kepala untuk memberi kemenangan pada dunia yang menginginkan kehancuran. Jadi kita terus bernapas, terus menggaruk dinding keberadaan dengan kuku-kuku yang patah. Menulis. Menggambar. Berteriak dalam diam. Sebab di lubang paling hitam sekalipun, bahkan kehancuran pun bisa jadi karya seni.  

Besok mungkin kiamat. Tapi malam ini, mari kita bakar sampah-sampah kemunafikan itu, menari di sekitar apinya dengan mata berkaca-kaca. Ada yang menyebut ini kegilaan. Aku menyebutnya hidup.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Roman Selengkapnya
Lihat Roman Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun
OSZAR »