Freya adalah seorang gadis yang hidup di desa Kenari. Dia tinggal bersama ibu yang sakit-sakitan dan seorang adik yang masih duduk di bangku sekolah dasar. Ayahnya sudah meninggal karena kecelakaan.Â
Satu tragedi yang merenggut kebebasan Freya sebagai siswa kelas dua sekolah menengah pertama. Semenjak kelihangan sang ayah Freya mengambil peran sebagai tulang punggung keluarga dengan menjajakan pukis milik tetangga.Â
Setiap hari Freya bangun sebelum ayam berkok. Ibu adalah tanggung jawab pertama yang harus ia rawat. Di sela-sela waktu ia menyempatkan diri berolahraga bersama sang adik. Barulah setelah itu mereka kompak menata rumah, membersihkan diri dan berangkat ke sekolah dengan menggembol pukis.Â
Kue pukis itulah harapan penyambung nyawa keluarga mereka satu-satunya. Walau kadang pukis tidak ludes terjual namun setidaknya ada sepeser-dua peser uang yang rutin masuk ke kantong untuk membeli beras. Satu liter beras cukup untuk penghidupan keluarga rapuhnya. Freya sangat bersyukur di zaman yang serba modern dan materialistik ini masih ada tetangga yang percaya dan berbaik hati.Â
Naasnya, tidak semua teman menghargai perjuangan yang dilakukan Freya. Selalu saja ada teman yang membully saat ia menjajakan pukis di depan kelas dan lorong-lorong sekolah. Pembullyan itu muncul karena ia dicap anak yang kotor karena berasal dari keluarga miskin. Padahal penampilannya tidak copang-camping hanya baju dan celananya saja yang sering terlihat lusuh.Â
Beruntungnya Freya memiliki seorang sahabat yang tulus. Namanya Lita. Mereka kerap bertemu di waktu istirahat. "Teng, teng, teng", jam istirahat tiba. "Freya, apa kamu gak ingin ikut lomba menulis cerita?" tanya Lita. "Mau banget, nget, nget. Tapi, tapi kan pendaftaran lomba itu mahal banget lho Lit. Mana mungkin aku bisa ikut", sergah Freya dengan penuh ekspresi menyayangkan. Â
Percakapan itu putus begitu saja. Lita tidak tega melihat tekad temannya yang padam karena keadaan. Pun begitu dengan Freya yang tidak ingin menyalahkan takdir dan kondisi ekonomi keluarga yang miris. Keduanya mematung, lantas berpisah saling membelakangi. Hanya bayangan mereka yang berjabat tangan dan saling menguatkan.Â
Kebetulan hari ini pulang sekolah lebih awal, Freya kembali menjajakan pukis yang belum habis persis di dekat sekolah sang adik. Bagi Freya, rugi bukan main jika pukis itu tidak habis terjual. Maka bukan masalah besar jika ia harus menjajakan pukis itu sembari menunggu sang adik pulang.Â
Mulutnya sibuk mempromosikan dagangan, "Pukis, pukis, pukis. Enak, lembut di mulut". Sementara itu pikirannya melayang-layang sibuk membayangkan seandainya dia ikut lomba dan tampil sebagai pemenang. "Kak, apa kuenya sudah habis terjual?" Seloroh sang adik. "Eh, copot, copot, copot. Belum dik, tinggal dua buah", sergah Freya terkaget sambil membuyarkan pikirannya. "Tapi tak apalah. Ayo kita pulang!" lanjut Freya.Â
Malam hari tiba namun mata Freya tak kunjung mau menutup. Keinginannya masih saja bergelayut hebat di kepala. Tekadnya menggebu-gebu namun kondisi saku menyayat hati sampai mendorong bulir putih jatuh di kedua tangan.Â
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!