Suara genderang bergemuruh sejak subuh. Di langit Bagan Siapiapi, aroma dupa sudah tercium kuat, membawa pengunjung ke suasana yang terasa magis dan khidmat.Â
Seorang ibu dari Malaysia memeluk anak lelakinya yang baru pertama kali menyaksikan Bakar Tongkang, dengan mata berkaca-kaca. "Kamu harus tahu ini... di sinilah nenekmu dulu dibesarkan," katanya.
Setiap tahun, Riau menjadi panggung kerinduan dan kebanggaan, ketika berbagai festival budaya digelar. Bukan hanya untuk ditonton, tapi untuk dihidupi kembali oleh mereka yang telah lama tinggal jauh dari kampung halaman.Â
Bagi para perantau dan diaspora, dari berbagai daerah Indonesia dan manca negara, inilah momen pulang yang sesungguhnya --- pulang pada akar, pada cerita masa kecil, pada diri mereka sendiri.
Namun, di balik meriahnya festival-festival itu, tersimpan tantangan besar: bagaimana menjadikannya sebagai destinasi wisata unggulan tanpa kehilangan makna, dengan sarana dan prasarana yang memadai?
1. Bakar Tongkang: Api yang Menyala dalam Ingatan
Bagan Siapiapi yang dulunya pelabuhan ikan terbesar kedua di dunia, kembali hidup tiap bulan Juni. Ribuan warga Tionghoa dari seluruh Indonesia, Singapura, Malaysia, bahkan Taiwan datang dengan satu tujuan: menyaksikan tongkang---perahu kayu besar---dibakar di tengah kota.
Prosesi ini bukan tontonan semata. Ia adalah simbol tekad leluhur yang memutuskan untuk tinggal di tanah Melayu ini, tanpa niat kembali ke Tiongkok.Â
Ketika lidah api menjilat layar perahu, para pengunjung menahan napas---bukan karena takut, tapi karena tersentuh. Ini bukan hanya pembakaran kayu, ini adalah pembakaran rindu.
Masalahnya? Dengan pengunjung mencapai 70--80 ribu orang, Bagan Siapiapi sering kewalahan. Jalan sempit, penginapan terbatas, toilet umum minim, dan tidak ada sistem transportasi pendukung. Padahal, festival ini memiliki potensi besar menjadi ikon wisata budaya Asia Tenggara.
2. Pacu Jalur: Kejayaan dari Sungai Kuantan
Bayangkan 40-an perahu panjang---berukir indah, berpenumpang 50 orang---melaju kencang di Sungai Batang Kuantan. Sorak-sorai penonton terdengar hingga berkilometer, drum dan gong memacu adrenalin, dan bendera desa berkibar penuh bangga.