Prolog: Sebuah Sore, Sebuah Notifikasi, dan Sebuah Makna
Suatu sore yang tenang, di teras rumah kampung halaman yang diteduhi pohon rambutan dan sawo, saya menikmati secangkir teh panas sambil memandangi taman kecil yang baru saja ditata ulang oleh cucu ponakan saya. Tiba-tiba terdengar suara notifikasi ponsel.
"Dividen BBRI telah masuk ke rekening Anda."
Tak ada Zoom meeting. Tak ada deadline. Hanya waktu --- untuk keluarga, ibadah, menulis, atau sekadar menatap langit biru yang perlahan berubah jingga.
Mungkin bagi sebagian orang ini hanya rutinitas pensiunan. Tapi bagi saya, ini adalah hasil dari perjalanan panjang yang dimulai lebih dari tiga dekade lalu --- tepatnya tahun 1989 --- saat saya, seorang mahasiswa hukum, membeli saham untuk keperluan skripsi.
Awal Mula: Ketika Investasi Dimulai dari Skripsi
Tahun 1989, saya masih tercatat sebagai mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan. Judul skripsi saya waktu itu:
"Aspek-Aspek Yuridis dalam Jual-Beli Saham di Pasar Modal melalui Bursa Efek Jakarta."
Pasar modal Indonesia sedang bangkit. Bursa Efek Jakarta kembali aktif sejak 1987, dan saat itu suasananya masih asing bagi banyak kalangan, termasuk mahasiswa hukum.
Saya merasa menulis saja tidak cukup. Saya ingin mengalami langsung.
Maka saya datang ke kantor Bank Niaga dan membuka rekening efek. Saya membeli saham --- bukan satu, bukan sekaligus, dan bukan tanpa alasan.Â
Saya membeli beberapa saham sesuai jadwal IPO-nya masing-masing di Bursa Efek Jakarta pada masa itu: Saham Bank Niaga, Saham JAPFA, dan Saham Pakuwon Jati.
Ketiganya saya beli dalam waktu yang berbeda. Bukan demi keuntungan, tapi demi integritas akademik dan keberanian mengambil peran langsung dalam praktik pasar modal yang saat itu belum lazim bagi mahasiswa hukum.