Salah satu prinsip paling fundamental dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 terdapat dalam Pasal 34 ayat (1) yang menyatakan:
"Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara."
Pernyataan ini bukan hanya kata-kata, melainkan perintah konstitusional yang mengikat dan bersifat imperatif. Ketika negara lalai dalam menjalankan amanat ini, maka sesungguhnya negara telah mencederai jiwa UUD 1945 dan mengkhianati semangat keadilan sosial yang menjadi pilar Pancasila.
Kalau negara ini kita anggap sebagai "ibu pertiwi", maka tentu rakyatnya adalah anak-anaknya, bukan? Tapi coba bayangkan, bagaimana rasanya jadi anak yang dibiarkan tidur di emperan toko, makan dari sisa warung, atau menjual tisu di lampu merah tanpa ada yang benar-benar peduli?
Itulah yang dialami banyak anak terlantar dan fakir miskin hari ini. Dan ironisnya, negara yang katanya 'ibu' itu malah sering tutup mata.
Banyak yang bilang, "negara kan punya anggaran terbatas." Tapi, setiap tahun, anggaran negara tetap bisa mengalir ke banyak hal: bangun proyek mercusuar, beli mobil dinas, atau acara seremonial. Lalu kenapa giliran anak-anak jalanan, anggaran jadi alasan? Yang kurang bukan uang. Yang kurang itu prioritas.
Fakir miskin dan anak terlantar sering dianggap "masalah sosial" yang mengganggu pemandangan kota. Padahal, mereka bukan masalah. Mereka adalah hasil dari masalah yang lebih besar: ketimpangan pendidikan, ketidakadilan distribusi ekonomi, dan absennya empati dari sistem.
Kelalaian negara itu bukan cuma soal data yang tidak lengkap atau bantuan yang terlambat. Itu soal hati yang tidak hadir, soal sistem yang tidak menjangkau, soal janji konstitusi yang dibacakan tapi tidak dilaksanakan.
Kalau negara tidak hadir di titik paling lemah rakyatnya, untuk apa ada negara?
Akhirnya, Kita Bertanya:
Kalau negara memang "ibu pertiwi", lalu siapa yang merawat anak-anak yang dibuang, yang kelaparan, yang kehilangan masa kecil karena harus bertahan hidup?