Di pelupuk malam yang remang-remang,
aku larungkan rindu dalam labirin bayang
namun angin hanya mengirimkan isak
dari laut yang menolak lupa.
Telah kugoreskan aibku di sisi gelap bulan,
namun sinarnya tetap membasuh punggungku,
seakan Tuhan tak pernah lelah memandang,
sementara aku, makhluk yang berulang padam.
Bertahun-tahun kubentangkan sajadah
di atas pasir yang basah oleh dosaku sendiri,
Lidahku membaca nama-Mu,
tapi jiwaku tetap berkubang pada angan yang sama:
mimpi-mimpi yang hanya tumbuh di ladang ketamakan.
Kupintal doa seperti nelayan tua
yang melempar jala tanpa harap pulang.
Laut tak memberiku ikan,
tapi terus menampung tangisku
tanpa pernah mengutuk,
seperti Engkau; yang Maha Mendengar
keluh hamba yang tak kunjung berubah.
Tubuh ini kulilit dengan benang-benang sesal,
namun selalu kutarik kusut kembali
oleh nafsu yang membajak jiwaku
setiap fajar menyingkap tirai.
Apakah Engkau masih di sana, Tuhan?
Atau aku telah menjadi buih
yang tak lagi dianggap bagian dari samudera?
Aku malu...
seperti bulan yang harus menatap matahari
setiap pagi,
dengan wajah yang tak pernah utuh,
tak pernah pantas.
Aku iba pada diriku sendiri,
seperti akar yang mencintai tanah kering
dan tetap menunggu hujan,
meski langit tak lagi berjanji.
Doaku mengapung,
seperti kapal tanpa kemudi
yang terlalu sering singgah
di pelabuhan-pelabuhan dosa.
Tak tahu arah pulang,
tapi masih berharap ada dermaga
di ujung murkaMu.
Ampuni aku Tuhan,
jika air mataku sudah asin
dan tak bisa Kau bedakan dari laut.
Tapi percayalah,
di balik deras gelombang diriku
masih ada sepi yang memanggil nama-Mu
dalam diam yang paling lirih,
lirih, tapi luka.
Luka, tapi setia.
Setia, meski tak layak.