Mohon tunggu...
Sahyul Pahmi
Sahyul Pahmi Mohon Tunggu... Masih Belajar Menjadi Manusia

Bukan siapa-siapa hanya seseorang yang ingin menjadi kenangan. Email: [email protected]

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Tawa Zahira, Lunas Segala Cicilan Hati

2 Juni 2025   22:35 Diperbarui: 2 Juni 2025   22:35 31
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Ilustrasi: Dokumentasi Pribadi Hasil Generate AI/chatgpt.com

Barangkali hidup tidak pernah benar-benar bisa ditebak. Di antara rutinitas yang kita bangun dari tagihan, deadline, dan jadwal laundry, ada jeda kecil bernama anak tertawa. Dan jeda itulah yang sedang saya nikmati hari ini.

Zahira, anak saya yang baru dua bulan lewat beberapa hari, sudah mulai mengenali suara saya. Bukan karena saya sering membacakan puisi Pablo Neruda atau khutbah Jumat bersemangat, tapi karena saya---entah bagaimana caranya---terus berceloteh seperti satpam komplek tanpa shift malam.

Dan suatu hari,

ketika saya menyapanya dengan nada yang lebih mirip announcer radio komunitas daripada ayah sejati, dia tertawa. Tertawa sungguhan. Bukan senyum malu-malu atau reaksi refleks karena perut lapar. Tapi tawa yang seolah-olah berkata, "Yah, kamu lucu juga ya walau agak ribut."

Itu tawa pertama yang benar-benar saya rasakan menyusup ke dalam relung-relung utang batin saya. Saya tidak sedang berlebihan. Karena sebagai orang tua baru, mendengar tawa anak seperti mendengar kata "lunas" dari aplikasi pinjaman online---lega, ajaib, dan membuat dada mengembang seperti roti panggang.

Zahira mulai mengenal suara saya.

Kadang saya merasa seperti pengisi suara tokoh kartun yang hanya muncul di balik layar, tapi entah kenapa anak ini selalu tahu dari mana suara itu berasal. Setiap kali saya bersuara, matanya menoleh. Tidak selalu dengan ekspresi senang. Kadang bingung. Kadang sebal. Kadang seperti berkata, "Ayah, sudah cukup ya monolognya." Tapi tetap saja, itu respons.

Dulu, sebelum Zahira lahir, saya pikir pengakuan itu harus berbentuk piagam, surat keputusan, atau setidaknya verifikasi centang biru. Ternyata, cukup dengan mata kecil yang melirik saat kita bicara. Cukup dengan senyum setengah bibir saat kita menyapa. Itu sudah pengakuan paling mewah: bahwa kita diakui sebagai 'ayah' oleh makhluk paling polos di dunia.

Saya tidak tahu pasti sejak kapan Zahira mulai kenal suara saya. Mungkin sejak dalam kandungan, saat saya bicara ke perut ibunya sambil berpura-pura menjadi tokoh dalam dongeng. Atau mungkin sejak pertama kali saya mengazankan di telinganya, meski suara saya lebih mirip kaset rusak ketimbang bilal masjid.

Yang jelas, sekarang dia tahu. Bahwa saya ini 'ayahnya'. Dan itu sudah cukup untuk membuat saya merasa menjadi seseorang.

Kadang saya berpikir,

andai negara ini bisa mengenali suara rakyatnya sebagaimana bayi mengenali suara ayahnya, mungkin kita tidak akan terlalu sering dikejutkan oleh kebijakan yang seperti lagu lama dengan remix beban hidup. Tapi ya sudahlah, kita sedang bicara soal Zahira.

Zahira yang tertawa ketika saya mengeluarkan suara aneh. Zahira yang tenang saat saya bacakan cerpen absurd. Zahira yang, meskipun belum bisa bicara, sudah bisa menjawab lewat sorot mata dan suara 'uekk' yang keluar tanpa aba-aba.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun
OSZAR »