“Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.” Lima kata terakhir dalam sila kelima Pancasila ini kerap digaungkan dengan semangat—dikutip dalam pidato maupun dalam amanat upacara, dan dijadikan bagian dari berbagai program pemerintah. Namun, melalui tulisan ini, pertanyaan muncul: bagaimana wujud nyata keadilan sosial dalam kehidupan sehari? Apakah ia mengambil rupa di meja makan pekerja harian, di antrean BPJS kelas III, atau dalam ruang kelas sekolah negeri di pelosok Indonesia?
Ada pernyataan yang pernah saya dengar: “keadilan itu seperti udara segar—baru terasa penting saat ia hilang.” Mungkin memang begitu adanya. Saat hidup berjalan lancar, keadilan sosial hanya terasa seperti konsep. Namun, bagi mereka yang hidup dalam kekurangan—yang ‘terbentur’ dengan sistem, realitas, dan situasi—keadilan sosial bukan jargon. Ia adalah soal makan hari ini atau tidak, sekolah atau putus di tengah jalan, sembuh atau makin parah karena tidak tertangani, bahkan melanjutkan karir atau mandek karena rendahnya meritokrasi.
Mari kita diskusikan satu contoh nyata keadilan yang belum merata: sistem pendidikan. Di kota besar, anak-anak belajar dengan proyektor interaktif, akses internet, dan bimbingan belajar—baik daring maupun luring. Di sisi lain, di daerah, seperti Kepulauan Aru atau Kepulauan Talaud, situasinya jauh berbeda. Ketimpangan ini bukan sekadar angka dalam laporan. Ini adalah wajah nyata dari ketidakadilan struktural yang masih melekat dalam sistem kita.
Menurut kajian SMERU Research Institute (2020) dalam studi kasus SMP di Yogyakarta, kebijakan zonasi sekolah sejak 2017 dinilai mampu meningkatkan akses ke sekolah negeri secara umum. Namun, kesenjangan terhadap akses pendidikan berkualitas tetap nyata. Sekolah negeri favorit cenderung masih didominasi oleh siswa dari keluarga mampu—mereka yang memiliki akses terhadap bimbingan belajar, transportasi, dan informasi. Sementara itu, siswa dari keluarga kurang mampu tersebar di sekolah dengan kualitas layanan pendidikan yang lebih rendah. Ketimpangan ini menunjukkan bahwa keadilan sosial dalam pendidikan bukan sekadar memberi kesempatan formal yang sama, tetapi memastikan bahwa semua anak—terlepas dari latar belakang ekonomi—mendapat akses yang adil terhadap kualitas pendidikan yang layak.
Aspek lain yang layak didiskusikan adalah ketimpangan ekonomi. Menurut data World Inequality Report 2022, 1% penduduk terkaya Indonesia menguasai sekitar 30,2% dari total kekayaan nasional. Sumber lain yang dilansir dari katadata menyebutkan 10% kelompok teratas menguasai 61% kekayaan, sementara 50% populasi terbawah hanya memiliki 4.5% total kekayaan nasional.[2] Ketimpangan ini mencerminkan bahwa “Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia” belum sepenuhnya hadir dalam praktik ekonomi kita. Angka ini bukanlah sekadar statistik, tetapi tantangan nyata yang memerlukan kesadaran, perhatian, dan tindakan konkret dari seluruh elemen bangsa.
Ketimpangan itu tidak hanya terbaca dalam laporan dan statistik. Ia mengambil wujud dalam kehidupan sehari-hari. Saya pernah “menonton” saat sekelompok pedagang kaki lima di Jakarta yang dipaksa pindah oleh petugas karena dianggap “liar” ataupun “mengganggu estetika kota”. Saya terdiam. Pertanyaan pun muncul, “apakah kelompok pedagang ini tidak dapat difasilitasi agar dapurnya tetap ‘ngebul’?” “apakah ruang kota hanya bagi mereka yang memiliki modal ekonomi, modal sosial, dan modal kekuasaan?” Momen ini menampar kesadaran pribadi: keadilan sosial seringkali terasa sebagai sebuah kemewahan—bukan hak yang seharusnya dimiliki bersama. Sosiolog Robert Putnam menyebut bahwa masyarakat yang adil adalah masyarakat yang punya social capital, dimana solidaritas dan rasa saling peduli menjadi tulang punggung kehidupan bersama. Namun, dalam praktik kita, beberapa kebijakan publik masih menghadapi tantangan dalam menjangkau kelompok masyarakat yang paling rentan.