Kopi itu pahit. Tapi kalau sudah dicampur susu dan gula aren, rasanya jadi manis dan bisa bikin siapa pun merasa hidupnya lebih ringan. Setidaknya, itu yang sering aku rasakan. Dan mungkin juga kamu setiap kali nongkrong di coffee shop sambil buka laptop, pasang earphone, dan ngetik sesuatu yang entah apa itu.
Katanya sih, itu namanya productive lifestyle. Tapi lama-lama, aku sadar: yang paling produktif justru dompetku yang makin tipis, bukan aku.
Kerja di kafe biar semangat.
Kalimat ini sering banget aku ucapkan ke teman, ke keluarga, bahkan ke diriku sendiri. Semacam mantra biar otak nggak merasa bersalah sudah jajan 30 ribu hanya demi segelas kopi dan colokan gratis.
Aku tahu kopi bisa jadi penyemangat. Tapi kok makin ke sini, aku merasa ngopi bukan cuma tentang rasa atau kafein, tapi tentang kebutuhan untuk terlihat sibuk, terlihat punya tujuan, bahkan kalau tujuannya sendiri masih kabur.
Duduk, Scroll, dan Ilusi Produktif
Entah kenapa, kerja di rumah selalu terasa berat. Banyak distraksi. Tapi ironisnya, begitu duduk di kafe, distraksi itu tetap ada. Bukannya langsung buka dokumen kerjaan, aku malah buka Instagram, terus Shopee, lalu Twitter, dan... scroll. Dan scroll. Dan scroll.
Tiba-tiba satu jam lewat. Kopi tinggal es batunya, kerjaan belum juga mulai.
Notion masih kosong. Word belum dibuka. Tapi story sudah update: "Working from coffee shop."
Aku pernah coba hitung: dalam sebulan, aku bisa lima sampai tujuh kali mampir ke kafe. Kadang sendirian, kadang pura-pura kerja bareng teman. Tapi lucunya, bukan kerjaannya yang bikin semangat, tapi suasananya.
Musik indie pelan-pelan, suara mesin espresso yang kadang meledak kayak petasan, aroma kopi yang nyebar ke seluruh ruangan. Semua itu terasa kayak soundtrack produktivitas, padahal kenyataannya, cuma nulis satu paragraf Word dalam dua jam.