Menopause bukan hanya fenomena reproduktif, tetapi juga proses neurologis yang dinamis yang memengaruhi struktur otak, konektivitas saraf, dan metabolisme energi otak perempuan. Penelitian neuroimaging menunjukkan bahwa transisi menopause mulai dari pra-, peri-, hingga pasca-menopause menimbulkan perubahan signifikan pada wilayah otak yang terkait dengan fungsi kognitif tinggi. Perubahan ini bersifat spesifik terhadap penuaan hormonal dan tidak disebabkan oleh usia kronologis semata. Pemulihan volume materi abu-abu serta peningkatan produksi ATP di otak pasca-menopause berhubungan erat dengan fungsi kognitif yang tetap terjaga, menunjukkan adanya mekanisme kompensasi adaptif.
Namun, risiko neurodegeneratif juga meningkat, terutama pada perempuan yang membawa gen APOE-4, yang menunjukkan penumpukan amyloid-β lebih besar dibandingkan pria seumur dengan genotipe yang sama. Hal ini memperkuat temuan editorial terbaru dalam Hormones and Behavior (2025) yang menekankan pentingnya pendekatan multidisipliner untuk memahami dampak menopause terhadap otak. Studi lintas disiplin, baik pada manusia maupun hewan, menunjukkan bahwa perubahan hormonal selama menopause berperan dalam kerentanan terhadap gangguan kognitif dan psikologis. Dengan demikian, pemahaman yang lebih menyeluruh mengenai dampak neuroendokrin menopause menjadi penting dalam mengembangkan strategi pencegahan dan terapi neurokognitif yang lebih efektif.
Menopause merupakan fase biologis yang kompleks dan terjadi secara alami pada setiap perempuan, ditandai dengan berakhirnya fungsi reproduksi dan penurunan kadar hormon estrogen secara drastis. Selain gejala fisik seperti hot flashes dan gangguan tidur, menopause juga berkaitan erat dengan perubahan dalam sistem saraf pusat. Beberapa dekade terakhir menunjukkan peningkatan minat terhadap dampak menopause terhadap otak, khususnya terkait dengan penurunan kognisi, perubahan suasana hati, dan peningkatan risiko penyakit neurodegeneratif seperti Alzheimer. Proses ini tidak sekadar mencerminkan penuaan umum, melainkan sebuah transisi hormonal yang memengaruhi otak secara struktural dan fungsional.
Editorial oleh Gervais, Barth, dan Lacreuse (2025) dalam Hormones and Behavior menyoroti bahwa menopause harus dipandang dari lensa multidisipliner, karena melibatkan interaksi antara sistem endokrin, neurologis, dan psikologis. Pendekatan integratif yang menggabungkan studi pada hewan dan manusia menegaskan bahwa penurunan estrogen selama menopause memengaruhi berbagai wilayah otak, terutama yang terlibat dalam memori dan emosi. Hal ini sejalan dengan temuan Mosconi et al. (2021) yang menunjukkan adanya perubahan signifikan dalam volume materi abu-abu, konektivitas saraf, serta metabolisme energi otak perempuan selama transisi menopause. Oleh karena itu, pemahaman yang mendalam tentang hubungan antara menopause dan kesehatan otak menjadi kunci dalam upaya preventif terhadap gangguan neurokognitif pada perempuan usia menengah ke atas.
Konsekuensi Menopause pada Gangguan Kesehatan Otak Menurut Penelitian Jurnal
Penelitian yang dirangkum dalam editorial ini menunjukkan bahwa menopause memicu berbagai perubahan neurobiologis yang signifikan, terutama di wilayah otak yang sensitif terhadap estrogen seperti hippocampus, amigdala, dan korteks prefrontal. Estrogen memiliki peran penting dalam regulasi neuroplastisitas, neurogenesis, dan neurotransmisi. Oleh karena itu, penurunan drastis estrogen pascamenopause mengganggu keseimbangan neurokimiawi dan mempercepat proses penuaan otak.
Salah satu konsekuensi utama menopause terhadap otak adalah penurunan fungsi kognitif, terutama dalam domain memori kerja, perhatian, dan kecepatan pemrosesan informasi. Studi neuroimaging menunjukkan adanya penurunan volume hippocampus serta perubahan metabolisme glukosa di otak perempuan pascamenopause. Temuan ini mendukung hipotesis bahwa estrogen berfungsi sebagai neuroprotektan alami.
Temuan dari studi longitudinal yang menunjukkan peningkatan risiko gangguan neurodegeneratif, terutama penyakit Alzheimer, pada perempuan setelah menopause. Risiko ini kemungkinan berkaitan dengan hilangnya efek protektif estrogen terhadap akumulasi beta-amiloid dan fosforilasi tau, dua ciri utama patologi Alzheimer. Selain itu, masa transisi menopause (perimenopause) dianggap sebagai periode kritis untuk intervensi preventif.
Penelitian menunjukkan bahwa menopause merupakan proses neurologis yang dinamis yang memengaruhi struktur otak, konektivitas, dan metabolisme energi selama masa penuaan endokrin pada perempuan. Dengan menggunakan teknik neuroimaging multimodalitas, para peneliti menemukan perbedaan yang signifikan pada struktur otak, konektivitas saraf, dan metabolisme energi otak di berbagai tahap menopause (pra-menopause, peri-menopause, dan pasca-menopause). Perubahan ini terjadi terutama di wilayah otak yang berperan dalam fungsi kognitif tingkat tinggi, dan ditemukan spesifik terhadap penuaan hormonal akibat menopause, bukan karena usia kronologis, seperti yang dibuktikan melalui perbandingan dengan pria seumur. Volume materi abu-abu (gray matter) di otak mengalami pemulihan di beberapa area penting pasca-menopause, dan pemulihan ini berkorelasi dengan produksi ATP di mitokondria otak serta kinerja kognitif yang terjaga, menunjukkan adanya proses kompensasi adaptif.
Namun, di tengah proses adaptif ini, ditemukan juga bahwa penumpukan amyloid-β yang merupakan penanda risiko penyakit Alzheimer lebih menonjol pada perempuan peri- dan pasca-menopause yang membawa gen APOE-4, dibandingkan dengan pria seumur dan genotipe yang sama. Gen APOE-4 diketahui sebagai faktor risiko genetik utama untuk Alzheimer tipe onset lambat. Hasil ini menyoroti bahwa menopause tidak hanya berdampak pada sistem reproduksi, tetapi juga memainkan peran penting dalam perubahan biologis otak perempuan selama pertengahan usia, yang dapat memengaruhi risiko penyakit neurodegeneratif di kemudian hari.