Prolog
Di antara deretan bangku dan lembar soal yang menumpuk, ada suara yang pelan-pelan menghilang. Bukan karena tak punya kata, tapi karena terlalu sering dianggap tak penting. Ia duduk diam di pojok kelas, perempuan muda dengan pandangan penuh tanya, tetapi mulutnya terlatih untuk membisu. Ia cerdas, tapi sering ragu mengangkat tangan, sebab terlalu sering dibungkam oleh anggapan bahwa laki-laki lebih tahu arah.
Kita tumbuh dalam sistem yang pandai memberi label: pintar tapi emosional, kuat tapi harus tetap lembut, berani tapi jangan terlalu lantang. Dunia pendidikan, yang katanya ruang pembebasan, justru terlalu sering menjadi panggung penghakiman bagi perempuan yang ingin menjadi utuh--- bukan sekadar pelengkap statistik.
Ada luka-luka kecil yang tidak terekam dalam rapor: tentang ketidakadilan yang dikemas rapi, tentang mimpi yang disunat norma sosial, dan tentang keinginan menjadi diri sendiri yang harus disesuaikan agar tak dianggap melawan. Mereka yang menangis di kamar mandi sekolah bukan karena tak bisa mengerjakan soal, tapi karena merasa tidak punya tempat untuk menjadi manusia seutuhnya.
Kita terlalu sering sibuk membangun gedung sekolah, tapi lupa membangun ruang batin bagi mereka yang ingin menyuarakan isi hatinya. Padahal, pendidikan sejati bukan sekadar mengisi kepala, tapi juga menyentuh hati --- memberi keberanian untuk merasa, memberi ruang untuk menyuarakan luka, dan mengizinkan perempuan untuk tidak selalu baik-baik saja.
Sebab menjadi perempuan di dunia pendidikan bukan sekadar soal hadir, tapi juga soal diperhitungkan, didengarkan, dan dibiarkan tumbuh dengan seluruh rasa yang dimiliki. Ini bukan tentang mendominasi, tapi tentang mengembalikan apa yang seharusnya dimiliki: hak untuk menjadi diri sendiri. Sepenuhnya.
Pendidikan Perempuan dan Ketimpangan yang Tak Terlihat
Di ruang kelas yang katanya netral, kenyataannya tidak semua suara mendapat perlakuan yang setara. Ada bias yang tak tertulis, tapi begitu terasa. Laki-laki yang menjawab dengan percaya diri disebut "pemimpin," perempuan yang bicara tegas malah dibilang "terlalu emosional." Di mana letak keadilan jika keberanian perempuan justru dilabeli sebagai ancaman?
Pendidikan kerap mengaku berpihak pada semua, tapi realitasnya masih menyisakan banyak ketimpangan halus --- tersembunyi dalam sikap guru yang lebih memberi perhatian pada siswa laki-laki, dalam materi ajar yang terlalu maskulin, hingga dalam pemilihan ketua kelas yang tak pernah memberi ruang pada mereka yang berpakaian rapi dan berbicara lembut.
Perempuan hadir, tapi tidak selalu dilihat. Mereka mendengar, tapi tak selalu didengarkan. Mereka berusaha bersinar, tapi kadang sorot cahaya hanya diarahkan pada yang dianggap lebih "pantang menyerah" --- seolah menangis adalah bentuk kelemahan, padahal itu bahasa jiwa yang sedang belajar jujur pada luka.