Keresahan masyarakat Indonesia dalam melihat wajah agama di negeri ini perlahan berubah menjadi arena kompetisi ego dan kuasa. Setiap kali sebuah ormas berbicara, ormas lain membalas --- bukan dengan dialog, tapi dengan serangan balik. Bukan dengan argumen, tapi dengan label sesat. Perdebatan yang seharusnya menjadi ruang pematangan pikiran justru menjelma jadi panggung pertengkaran, dipenuhi caci maki, stempel kafir, dan penggiringan opini yang tak sehat. Di tengah masyarakat yang katanya religius dan majemuk, mengapa kita justru paling sulit menerima perbedaan pandangan?
Di ruang publik --- dari mimbar masjid hingga media sosial --- perbedaan sering kali tidak dibaca sebagai peluang untuk tumbuh, melainkan sebagai ancaman yang harus ditolak atau dimusnahkan. Kita terbiasa hidup dalam bayang-bayang "kebenaran tunggal", sehingga pikiran yang melawan arus dicurigai, bukan didengarkan. Padahal, bukankah esensi dari berpikir adalah membuka ruang untuk yang berbeda? Dalam masyarakat yang semakin kompleks, apakah kita siap hidup berdampingan dengan pemikiran yang tak sama, atau justru terus terjebak dalam pola pikir jumud yang menolak berkembang? Akar dari persoalan ini tak hanya terletak pada kontestasi antar ormas, tapi jauh lebih dalam: pola pikir masyarakat kita dibentuk sejak dini untuk menyamakan, bukan memahami. Di ruang kelas, kita belajar mencari "jawaban benar" versi buku paket, bukan mengeksplorasi berbagai kemungkinan. Sebuah studi dari Pusat Penelitian Kebijakan Kemendikbudristek tahun 2020 menunjukkan bahwa sebagian besar guru masih mengukur keberhasilan siswa berdasarkan hafalan dan kesesuaian jawaban, bukan kemampuan berpikir kritis atau analitis. Di rumah, anak-anak yang bertanya terlalu banyak kerap dianggap membantah orang tua --- memperkuat budaya anti-diskusi.
Ketika berpikir kritis tidak dilatih, yang tumbuh justru ketakutan terhadap perbedaan. Sebuah survei LSI (Lembaga Survei Indonesia) tahun 2018 menemukan bahwa lebih dari 50% responden setuju bahwa aliran keagamaan yang berbeda sebaiknya dibatasi dalam menyebarkan ajarannya, dan sebagian besar dari mereka adalah lulusan pendidikan formal. Artinya, sekolah yang semestinya menjadi ruang berpikir justru bisa memperkuat mentalitas eksklusif. Di sisi lain, media sosial memperparah keadaan: algoritma hanya menyodorkan informasi yang memperkuat pandangan kita, membentuk echo chamber yang membuat perbedaan terasa makin asing dan mengancam.
Dalam kondisi seperti ini, wajar bila banyak orang tumbuh dengan logika "siapa yang berbeda, dia musuh." Kita tidak diajarkan bagaimana menghadapi pemikiran lain secara sehat, melainkan dibentuk untuk menolak yang asing demi kenyamanan kolektif. Ini bukan hanya soal ormas agama yang saling menyerang, tapi soal sistem sosial yang gagal merawat keberagaman di dalam kepala.
Ketakutan terhadap perbedaan tidak hanya melahirkan sikap defensif, tapi juga membuka jalan bagi kekerasan --- baik simbolik maupun fisik. Dalam masyarakat yang enggan menerima keragaman cara berpikir, perbedaan mudah dipelintir menjadi ancaman eksistensial. Inilah yang menyebabkan munculnya ujaran kebencian, pelabelan "sesat", "liberal", atau "kafir" terhadap siapa pun yang tidak berpikir seragam. Tak sedikit kasus kekerasan terhadap rumah ibadah, pelarangan kegiatan keagamaan, atau pembubaran diskusi akademik yang dilakukan atas nama "menjaga kebenaran". Data dari Setara Institute mencatat, sepanjang tahun 2023 terdapat 145 peristiwa pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan, sebagian besar melibatkan pelaku dari ormas keagamaan yang merasa "berhak" menjaga kemurnian ajaran.
Dampak yang lebih dalam dan tak kasat mata adalah hilangnya iklim intelektual yang sehat. Ketika masyarakat terbiasa menolak pikiran yang berbeda, maka ruang untuk tumbuh menjadi bangsa pembelajar pun tertutup. Anak-anak muda yang kritis memilih diam karena takut dikucilkan. Guru atau tokoh agama progresif berhenti berbicara karena tekanan sosial. Bahkan institusi pendidikan tinggi pun mulai ragu memberi ruang diskusi terbuka karena khawatir akan tekanan massa. Kita pun jatuh ke dalam spiral stagnasi intelektual, di mana yang diteriakkan adalah kebenaran tunggal, dan yang dibungkam adalah keberagaman nalar.
Jika akar dari penolakan terhadap perbedaan adalah pola pikir yang sempit dan kaku, maka jalan keluar yang paling mendasar adalah pendidikan --- tapi bukan sekadar pendidikan formal, melainkan pendidikan cara berpikir. Kita membutuhkan sistem pembelajaran yang tidak hanya mengajarkan isi pelajaran, tapi juga mengajarkan bagaimana berpikir tentang pelajaran itu secara terbuka dan reflektif.
Anak-anak harus dibiasakan untuk bertanya, bukan hanya menjawab. Guru harus diberi ruang untuk memfasilitasi dialog, bukan sekadar menyampaikan materi. Kurikulum seharusnya tidak hanya mencantumkan "profil pelajar Pancasila" sebagai slogan, tetapi juga sungguh-sungguh menumbuhkan karakter berpikir kritis, empatik, dan multikultural. Di tengah dunia yang penuh keragaman dan perbedaan identitas, kemampuan untuk mendengar yang berbeda tanpa merasa terancam adalah salah satu keterampilan hidup yang paling penting.
Ini bukan sekadar tanggung jawab sekolah. Keluarga, komunitas, lembaga agama, hingga media semuanya harus berani membuka ruang bagi pemikiran yang beragam, bukan malah mempersempitnya dengan doktrin tunggal dan narasi kebenaran mutlak. Perbedaan bukan penyakit. Ia adalah tanda bahwa kehidupan masih hidup. Bahwa pikiran masih bekerja. Dan bahwa masa depan masih bisa diperjuangkan bersama, meski dari jalan yang berbeda-beda.
Kita hidup di tengah masyarakat yang penuh warna, tapi ironisnya, justru takut pada warna yang tak seragam. Ketika pikiran dibungkam demi menjaga "kebenaran bersama", kita bukan sedang membangun kedamaian ,kita sedang merayakan kebekuan. Dan kebekuan pikiran adalah awal dari kemunduran.
Aku percaya, pendidikan bukan sekadar soal lulus ujian atau hafal ayat. Pendidikan adalah tentang membentuk manusia yang mampu berpikir, mendengar, dan hidup berdampingan dalam keberagaman tanpa rasa takut. Karena itu, membangun bangsa tidak cukup dengan membangun gedung sekolah; kita harus juga membangun ruang di dalam kepala ,tempat di mana perbedaan tidak diusir, tapi disambut sebagai sahabat berpikir.