Sejak manusia mengenal api dan bahasa, perang telah menjadi bagian kelam dari perjalanannya. Ia bukan sekadar pertarungan fisik, melainkan manifestasi dari hasrat kekuasaan, ketakutan kolektif, dan kegagalan memahami perbedaan. Perang pertama tidak tercatat dalam buku sejarah, namun jejaknya terekam dalam temuan arkeologi: luka tusuk di tulang, dinding gua yang menggambarkan pertempuran, dan tengkorak yang retak oleh batu. Seiring peradaban tumbuh, perang pun menjelma menjadi institusi, lengkap dengan strategi, ideologi, dan mesin kematian.
Awal Peradaban: Ketika Tombak Menjadi Simbol Kekuasaan
Pada masa prasejarah, perang muncul dari kebutuhan dasar: bertahan hidup dan menguasai sumber daya. Ketika kelompok manusia mulai menetap dan bertani, konflik berevolusi. Mereka yang memiliki tanah subur dan air menjadi sasaran penyerbuan. Di Mesopotamia, Mesir Kuno, dan Lembah Indus, dinasti-dinasti besar dibangun di atas darah para penakluk dan yang ditaklukkan.
Salah satu perang tertua yang terdokumentasi adalah Pertempuran Megiddo (sekitar 1457 SM), ketika Firaun Thutmose III memimpin tentara Mesir melawan koalisi kerajaan Kanaan. Perang ini menandai munculnya strategi militer, penggunaan kereta kuda, dan pencatatan perang sebagai bagian dari propaganda kekuasaan.
Di Yunani Kuno, perang menjadi panggung kehormatan. Perang Troya, entah mitos atau nyata, mencerminkan pandangan bahwa heroisme hanya bisa dibuktikan di medan tempur. Kekaisaran Romawi melanjutkan tradisi itu dengan menyebarkan Pax Romana melalui pedang. Romawi tidak hanya menaklukkan, tetapi membentuk doktrin bahwa perang adalah alat pembangunan peradaban.
Abad Pertengahan: Perang atas Nama Tuhan
Memasuki Abad Pertengahan, perang mengalami transformasi menjadi instrumen agama. Perang Salib (1095--1291) adalah puncak dari narasi "perang suci", di mana darah ditumpahkan atas nama Tuhan. Di sisi lain dunia, dunia Islam juga mengalami perang antar-dinasti dan mazhab, dari Umayyah hingga Abbasiyah, dari Turki Utsmani hingga Safawi.
Perang pada masa ini tidak hanya membawa kematian, tetapi juga pertukaran budaya dan ilmu. Namun, itu tidak menghapus fakta bahwa puluhan juta nyawa melayang, dan tanah-tanah suci menjadi ladang pembantaian yang dibungkus dengan klaim kebenaran ilahi.
Revolusi dan Modernitas: Ketika Teknologi Menyulut Neraka
Revolusi Industri membawa kemajuan pesat dalam teknologi---dan itu tidak luput dari ranah militer. Senapan, artileri, kapal perang, dan kemudian pesawat terbang mulai digunakan secara luas dalam konflik. Di Eropa, nasionalisme dan imperialisme melahirkan perang-perang besar antarnegara. Ketika ketegangan diplomatik, aliansi rahasia, dan ambisi kolonial mencapai titik didih, maka meletuslah Perang Dunia I (1914--1918).
Perang Dunia I menewaskan lebih dari 17 juta orang dan mengubah peta politik dunia. Parit-parit berlumpur di Prancis menjadi simbol kebuntuan perang yang sia-sia. Teknologi modern seperti gas beracun dan senapan mesin membunuh lebih cepat daripada kemampuan manusia untuk bernegosiasi damai.
Alih-alih menjadi "perang yang mengakhiri semua perang", tragedi ini justru membuka jalan bagi konflik yang lebih mengerikan. Di antara puing-puing Perang Dunia I, lahir dendam, kebangkrutan ekonomi, dan ideologi totalitarian yang kelak melahirkan Perang Dunia II (1939--1945).
Perang Dunia II: Neraka Terbuka
Perang Dunia II adalah konflik global terbesar dan paling mematikan dalam sejarah umat manusia. Lebih dari 70 juta orang meninggal, termasuk 6 juta Yahudi yang dibantai dalam Holocaust. Teknologi perang berkembang drastis: tank-tank berat, pesawat pembom, dan akhirnya senjata pemusnah massal---bom atom.