Di balik tatapan matanya yang tenang, tersembunyi cerita panjang yang tidak semua orang bisa tahan untuk mendengarnya---apalagi menjalaninya. Ada luka-luka yang tak lagi berdarah, tapi masih berdenyut dalam diam. Ada nama-nama yang pernah tinggal lama, lalu pergi tanpa salam. Dan ada malam-malam panjang yang ia habiskan sendirian, bukan karena tak ada teman, tapi karena tak ada yang cukup mengerti betapa sunyinya suara hati yang telah terbakar habis.
Sang Penjaga Iman bukan siapa-siapa bagi dunia. Ia bukan pahlawan yang dipuja, bukan tokoh besar yang disebut dalam buku sejarah. Tapi bagi dirinya sendiri, ia telah melewati peperangan yang tidak bisa dilihat oleh mata---peperangan dengan diri sendiri. Dan ia menang. Meski kemenangan itu tak berarti ia tak jatuh, tak berarti ia tak hancur. Justru sebaliknya, ia pernah tenggelam begitu dalam, hingga tak yakin apakah esok masih ada.
"Kadang, kemenangan sejati bukan saat kita berdiri paling tinggi, tapi saat kita tetap bertahan meski dunia ingin menjatuhkan."
Ia adalah sosok yang pernah terbakar oleh api kehidupan.
Bukan api yang menyala karena bensin atau korek api. Tapi api yang muncul dari pengkhianatan, kehilangan, kegagalan, kekecewaan, dan cinta yang membakar habis kepercayaan dirinya. Ia pernah mencintai dengan seluruh jiwanya---dan ditinggalkan tanpa alasan. Ia pernah percaya, lalu dikhianati. Ia pernah menggantungkan harapan pada manusia, lalu dihancurkan oleh realita.
Ada masa di mana setiap pagi adalah beban. Bangun tidur bukanlah awal yang segar, tapi hanya jeda sebelum luka-luka kemarin menyerang lagi. Ia pernah duduk diam di sudut kamar, bertanya-tanya apa salahnya hingga dunia terasa begitu kejam. Ia pernah memeluk kesunyian dengan air mata yang tak sempat dilihat siapa-siapa. Ia belajar membungkam tangis, karena tak semua orang peduli dengan suara hati.
"Air mata yang jatuh dalam kesunyian, seringkali lebih jujur dari ribuan kata yang diucapkan dengan bibir yang tersenyum."
Namun, di titik paling gelap itu, ia menemukan cahaya. Bukan dari luar, tapi dari dalam. Ia menemukan bahwa meski segalanya hancur, ada satu hal yang tetap hidup: tekadnya.
Dan dari situ ia bangkit.
Bukan karena bantuan siapa-siapa. Tapi karena ia tahu satu hal pasti: hidup tidak akan pernah berhenti mengujinya. Maka daripada terus bersembunyi, ia memilih untuk melangkah. Meski tertatih. Meski tertusuk duri masa lalu di setiap langkahnya.