..
Sejak lama, saya terus merenungkan sebuah narasi yang berasal dari kearifan Jawa kuno: *"Sangkan Paraning Dumadi"* --- asal dan tujuan hidup. Pertanyaan ini tidak hanya menggugah pikiran, tetapi juga menyentuh relung jiwa yang paling dalam. Sebelum kita bertanya kemana arah tujuan setelah tubuh mati, muncul pertanyaan yang tak kalah penting: dari manakah asal hidup ini?
Dalam perjalanan refleksi ini, saya mencoba menyampaikan sebuah argumentasi mengenai asal-usul hidup manusia. Jawaban atas pertanyaan ini tentu beragam, bergantung pada sudut pandang masing-masing orang --- baik itu dari perspektif ilmu pengetahuan, agama, filsafat, atau pengalaman batin. Namun secara singkat, saya percaya bahwa hidup kita berasal dari sesuatu yang bisa disebut sebagai "daya hidup" atau "sumber hidup". Apapun sebutannya, yang penting adalah kesadaran bahwa hidup ini bukanlah milik kita semata.
Lalu, di manakah daya hidup itu berada? Apakah ia menempati ruang tertentu seperti sebuah benda fisik? Saya rasa tidak. Ini mirip dengan pertanyaan tentang listrik. Di manakah listrik itu berada? Ia tidak menempati satu tempat saja, tetapi hadir di mana-mana sebagai energi yang menghidupkan alat-alat elektronik. Demikian pula halnya dengan daya hidup ini --- ia ada di sekeliling kita, menyusup ke dalam diri kita, dan memberi makna pada setiap tarikan napas.
Kita sebagai manusia hanyalah cerminan dari adanya suatu kekuatan hidup yang lebih besar --- suatu sumber hidup yang sejati. Karena itu, jika kita memahami bahwa hidup kita bukanlah hasil dari daya atau usaha diri sendiri sepenuhnya, maka dapat kita simpulkan bahwa sebenarnya kita sudah "mati" sejak sebelum tubuh kita berpisah dari jiwa. Maksudnya adalah, bahwa kita tidak memiliki kontrol mutlak atas hidup kita; kita selalu bergantung pada sumber hidup yang transendental.
Dengan kesadaran ini, kita diajak untuk melihat hidup dengan cara yang lebih dalam. Kita diminta untuk menyadari bahwa meskipun tubuh kita tampak hidup, sebenarnya kita sedang dihidupkan oleh kekuatan lain. Inilah yang sering disebut dengan ungkapan Jawa: *"Kita mati sak jeroning urip"* --- kita mati di dalam hidup. Bukan dalam arti harfiah, tapi dalam arti filosofis: bahwa kita tidaklah mandiri dalam hidup ini. Hanya dengan kesadaran terhadap hal ini, kita dapat mulai memahami makna hidup yang lebih hakiki. Bahwa kita adalah bagian dari sesuatu yang lebih besar, bahwa kita adalah alat dari kehendak yang lebih tinggi, dan bahwa hidup ini adalah anugerah yang harus dijaga dengan penuh tanggung jawab.
---
Pertanyaan *"Sangkan Paraning Dumadi"* tidak hanya mengarah pada pencarian tentang apa yang terjadi setelah mati, tetapi juga membawa kita kembali pada kesadaran awal: bahwa kita berasal dari Sang Pemberi Hidup, dan kelak akan kembali kepada-Nya. Sebenarnya, saat ini pun kita sudah kembali kepada sumber hidup itu. Kita tidak perlu menunggu kematian untuk menyadari hal ini. Dalam pengertian analogis, kita sebenarnya sudah "mati" --- artinya, hidup kita bukan milik diri sendiri, melainkan dihidupkan oleh sesuatu yang lebih besar. Karena itu, kita tidak perlu khawatir tentang cerita-cerita yang menyebut adanya tempat penyiksaan yang mengerikan atau surga yang penuh kenikmatan. Dengan kesadaran seperti ini, hidup menjadi lebih bermakna karena kita menjalaninya dengan penuh kesadaran akan asal dan tujuan kita. Imbasnya, kita tidak selalu dikontrol oleh narasi doktrin keyakinan yang terkadang justru tidak mampu memberikan jawaban memadai atas pertanyaan *"Sangkan Paraning Dumadi"* itu sendiri.
---
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI