Dalam dunia pendidikan tinggi, tugas proyek sering kali menjadi bagian penting dari proses belajar. Melalui itu, mahasiswa ditantang untuk menerapkan teori, mengasah kreativitas, dan bekerja secara kolaboratif. Namun, perlu diakui bahwa tidak semua proyek bersifat ringan—beberapa membutuhkan energi, waktu, bahkan biaya pribadi yang tidak sedikit. Maka muncul pertanyaan yang patut direnungkan: apakah mahasiswa layak diberikan apresiasi ketika mereka berhasil menyelesaikan tugas proyek semacam itu?
Apresiasi bukanlah bentuk memanjakan mahasiswa, melainkan pengakuan atas upaya yang telah mereka lakukan. Terlebih ketika proyek yang diberikan membutuhkan sumber daya tambahan, baik dari segi waktu, tenaga, maupun biaya produksi. Dalam situasi semacam ini, apresiasi dari dosen atau pihak kampus dapat menjadi semacam validasi bahwa proses belajar yang dijalani mahasiswa benar-benar dihargai.
Penghargaan tersebut tidak selalu harus berbentuk uang, namun ketika penghargaan material diberikan dengan tepat dan terukur, itu dapat memperkuat semangat mahasiswa sekaligus membentuk atmosfer belajar yang positif. Pengalaman pribadi saya di Program Studi Ilmu Komunikasi, Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta menjadi salah satu bukti bahwa apresiasi seperti ini bisa memberikan dampak yang sangat berarti.
Jadi, saya dan teman-teman satu angkatan mendapatkan tugas proyek dari mata kuliah Broadcasting. Tugasnya cukup menantang: membuat sebuah music video (MV) dari lagu-lagu yang diberikan oleh dosen kami, Alip Kunandar, S.Sos., M.Si. Tugas proyek ini dikerjakan secara berkelompok dan setiap kelompok terdiri dari 5–6 mahasiswa. Prosesnya bisa dibilang cukup rumit, mulai dari penulisan skrip, menentukan talent yang cocok, pencarian lokasi, pengambilan gambar, hingga editing.
Seperti dapat dibayangkan, proyek ini tidak hanya menuntut keterampilan teknis dan kreativitas, tetapi juga menuntut kesiapan logistik. Beberapa kelompok harus mengeluarkan biaya untuk menyewa alat, membeli properti, atau sekadar transportasi menuju lokasi syuting. Dengan kata lain, tugas ini bukan sekadar mengisi lembar jawaban, melainkan proses nyata yang menyerupai praktik kerja profesional.
Yang membuat pengalaman ini istimewa adalah bagaimana dosen kami merespon kerja keras tersebut. Beliau tidak hanya mengumpulkan hasil dan memberikan nilai di akhir, tetapi juga mengadakan awarding sebagai bentuk apresiasi karya dari tugas proyek yang diberikan.
Ada enam kategori penghargaan yang diberikan: best script, best actor, best couple, best cinematography, video terfavorit, dan video terbaik. Masing-masing kategori memperoleh hadiah uang tunai sebesar Rp100.000, kecuali terfavorit yang mendapatkan Rp200.000 dan terbaik yang mendapatkan Rp300.000. Awarding ini diselenggarakan bersamaan dengan kuliah umum yang diadakan oleh Prodi Ilmu Komunikasi dan turut menghadirkan seorang praktisi film yang memberikan materi penuh wawasan terkait dunia perfilman.
Pengalaman tersebut mengajarkan saya bahwa apresiasi bukan hanya soal hadiah, melainkan tentang menciptakan ruang belajar yang lebih manusiawi. Mahasiswa merasa bahwa kerja keras mereka dilihat, dihargai, dan bahkan dirayakan. Mereka tidak hanya dinilai sebagai angka di atas kertas, melainkan sebagai individu yang berkembang melalui proses belajar yang nyata.
Dalam awarding tersebut, suasana di Conference Room terasa jauh lebih hangat dan suportif. Alih-alih kompetitif secara negatif, mahasiswa justru saling memberikan tepuk tangan dan mengapresiasi karya masing-masing. Bagi yang menang, hadiah menjadi simbol pengakuan. Bagi yang belum menang, karya mereka tetap diputar dan diapresiasi secara terbuka. Pengalaman semacam ini jelas membentuk iklim akademik yang sehat.