Di Kabupaten Malang, tepatnya di Jalan Slamet gang Gumuk atau Gumuk Agung Glanggang, Kecamatan Tumpang, kabupaten Malang berdiri sebuah taman wisata yang berbeda dari destinasi pada umumnya bernama Lembah Tumpang.
Destinasi wisata unik ini menawarkan pengalaman wisata sekaligus ziarah budaya ke masa keemasan Nusantara. Di tempat seluas 20 hektar ini, pengunjung seolah dibawa menjelajah waktu, menyusuri jejak kejayaan Kerajaan Singhasari dan Majapahit melalui deretan replika candi, arca, dan patung-patung raksasa yang berdiri megah di tengah alam hijau.
Lembah Tumpang tak hanya dirancang untuk memanjakan mata, melainkan lahir dari sebuah gagasan luhur: membangkitkan kesadaran generasi bangsa akan pentingnya mencintai sejarah dan budaya sendiri. Di balik setiap batu ukir dan bangunan yang tampak diam, tersimpan filosofi mendalam tentang harmoni, keteguhan, dan spiritualitas Nusantara.
Asal Usul dan Sejarah Pembangunan Lembah Tumpang
Lembah Tumpang dibangun oleh Prof. Dr. Ir. Yogi Sugito, mantan rektor dua periode di universitas Brawijaya Malang. Pada awalnya, lahan ini adalah rawa-rawa dan Yogi mulai menata kawasan tersebut menjadi tempat peristirahatan dan taman dengan nuansa budaya Jawa Kuno. Ia tergerak oleh kecintaannya pada kejayaan peradaban leluhur yang menurutnya mulai dilupakan masyarakat.
Proses pembangunan Lembah Tumpang dilakukan secara bertahap, dengan penuh kesabaran dan perhatian pada akurasi bentuk serta filosofi setiap ornamen. Kawasan ini terus berkembang menjadi taman budaya sekaligus ruang kontemplasi.
Filosofi di Balik Lembah Tumpang
Lembah Tumpang tidak sekadar dibangun untuk menarik wisatawan. Ada filosofi mendalam yang melatarbelakangi setiap arca, patung, dan bangunan di kawasan ini. Prof. Dr. Yogi ingin menghadirkan kembali semangat kejayaan Nusantara, yang kaya akan nilai-nilai luhur seperti:
- Harmoni antara manusia, alam, dan Sang Pencipta. Tata letak Lembah Tumpang dirancang sedemikian rupa agar sejalan dengan filosofi Tri Hita Karana: keselarasan antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan sesama, dan manusia dengan alam. Tidak heran bila setiap candi mini, patung, atau arca selalu dipadukan dengan lanskap alami berupa pepohonan, kolam, dan taman hijau.
- Menghargai warisan leluhur. Melalui Lembah Tumpang, sang pendiri ingin menanamkan kesadaran bahwa budaya dan sejarah adalah identitas bangsa yang harus dijaga dan dirawat. Replika candi dan arca di Lembah Tumpang bukan sekadar tiruan, tetapi simbol kebanggaan akan pencapaian peradaban masa lalu.
- Simbol spiritual dan kebajikan. Banyak arca yang berdiri di Lembah Tumpang bukan hanya pajangan, melainkan mengandung makna filosofis. Misalnya, patung Ganesha melambangkan ilmu pengetahuan dan penyingkir halangan. Arca Budha dan patung Dwarapala mengingatkan akan makna kebijaksanaan, penjagaan diri, dan kesucian niat.
- Kesederhanaan dalam kemegahan. Meski banyak bangunan di Lembah Tumpang tampak megah, seluruhnya dibuat dari batu lokal dengan teknik tradisional, tanpa sentuhan kemewahan buatan. Hal ini mencerminkan prinsip kesederhanaan yang tetap menjunjung tinggi nilai estetika dan kekuatan budaya.