Mohon tunggu...
Agustinus Gereda Tukan
Agustinus Gereda Tukan Mohon Tunggu... Penulis

Gemar membaca dan menulis, dengan karya narasi, cerpen, esai, dan artikel yang telah dimuat di berbagai media. Tertarik pada filsafat, bahasa, sastra, dan pendidikan. Berpegang pada moto: “Bukan banyaknya, melainkan mutunya,” selalu mengutamakan pemikiran kritis, kreatif, dan solusi inspiratif dalam setiap tulisan.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Mati di Ujung Jari: Ketika Digitalisasi Menggerus Kemampuan Menulis

2 Juni 2025   04:25 Diperbarui: 1 Juni 2025   18:12 193
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Kita hidup di zaman serba cepat, praktis, dan digital: semua bisa dilakukan dari ujung jari, termasuk belajar dan menulis. Teknologi seperti Google, aplikasi AI, dan platform tulis otomatis telah menjadi sahabat baru di dunia pendidikan; tugas yang dulu butuh waktu berjam-jam kini selesai dalam hitungan menit hanya dengan mengetik kata kunci dan beberapa klik. Tapi di balik kemudahan itu, daya juang untuk berpikir dan merangkai tulisan sendiri mulai memudar. Siswa makin sering mencari jawaban instan daripada mencoba memahami dan menuliskannya dengan kalimat mereka sendiri. Alih-alih menjadi alat bantu, digitalisasi perlahan mengambil alih peran otak, dan ketika itu terjadi, keterampilan menulis tak berkembang---ia justru pelan-pelan mati di ujung jari.

Ketergantungan pada Teknologi

Hari ini, banyak siswa punya 'asisten pribadi' yang siap siaga 24 jam: ChatGPT, Google, QuillBot, atau Grammarly. Tinggal ketik pertanyaan, copy-paste tugas, lalu dalam hitungan detik muncullah jawaban lengkap, rapi, dan kadang malah lebih bagus daripada yang bisa ditulis sendiri. Tak heran, godaan untuk menggunakan teknologi ini tanpa berpikir dua kali jadi sangat besar.

Masalahnya, kemudahan ini sering membuat proses belajar terlewat begitu saja. Siswa lebih sering mengandalkan mesin daripada menggali pemahaman sendiri. Mereka menyalin jawaban tanpa menyentuh akar pertanyaan. Akibatnya, kemampuan berpikir kritis dan menulis dengan bahasa sendiri jadi kian tumpul. Dalam sebuah penelitian, Sundararajan & Tabor (AI and the Future of Learning, 2023), menyebutkan bahwa "teknologi AI bisa mempercepat pembelajaran, tetapi juga berisiko membunuh proses refleksi dan analisis jika digunakan tanpa kontrol."

Hal ini sejalan dengan temuan dari Rini & Nugroho (Digitalisasi Pendidikan: Antara Peluang dan Tantangan, 2022), yang menyoroti bahwa semakin banyak siswa menganggap teknologi sebagai 'pemberi jawaban', bukan alat untuk memahami. Alih-alih menjadi jembatan menuju pengetahuan, teknologi justru sering jadi pintasan yang melewati proses belajar itu sendiri.

Dampak terhadap Kemampuan Menulis

Tanpa disadari, kemudahan digital yang kita nikmati saat ini pelan-pelan sedang mengubah cara kita berpikir---termasuk dalam hal menulis. Ketika semua jawaban bisa langsung kita minta dari mesin, otak kita jadi jarang diajak kerja keras. Akibatnya, kemampuan berpikir kritis, logis, dan kreatif mulai melemah. Menurut penelitian McCoy (The Distracted Student Mind: Enhancing Its Focus and Attention, 2019), siswa yang terlalu bergantung pada teknologi cenderung mengalami penurunan kemampuan dalam memilah informasi, menyusun argumen, dan menyampaikan ide secara runtut.

Tak hanya itu, menulis yang dulu lahir dari proses membaca, merenung, dan berdialog dengan diri sendiri kini berubah jadi aktivitas satu arah: mengetik cepat dan mengandalkan hasil otomatis. Kebiasaan membaca pun mulai luntur. Padahal, menurut Tovani (2021), dalam Why Do I Have to Read This?: Literacy Strategies to Engage Our Most Reluctant Students (2021), membaca adalah kunci utama untuk memperkaya kosa kata, memperluas perspektif, dan membentuk gaya menulis yang hidup dan orisinal.

Ketika proses-proses itu dilewati, tak heran jika banyak tulisan siswa sekarang terasa datar. Tidak ada 'suara' pribadi, tidak ada warna, semua terasa seperti salinan dari template yang sama. Tulisan menjadi generik, hanya menggugurkan tugas, bukan cerminan dari pikiran yang hidup. Bahkan menurut Dreyfus, dalam The Philosophy of Skill: Skill, Knowing How and Novice Expertise (2020), keterampilan menulis yang baik tak bisa dipisahkan dari pengalaman berpikir dan kesadaran atas apa yang ingin disampaikan: dua hal yang perlahan menghilang ketika teknologi mengambil alih.

Apakah Teknologi Selalu Salah?

Tentu saja, tidak semua yang serba digital itu buruk. Teknologi tetap punya sisi terang---asal tidak dipakai secara buta. Dalam banyak hal, teknologi bisa menjadi asisten pribadi yang luar biasa. Ia bisa membantu menyusun ide, mengecek tata bahasa, atau bahkan memperkaya referensi. Anderson, dalam Teaching in the Digital Age (2020), menyebutkan bahwa teknologi seharusnya menjadi co-pilot dalam proses belajar, bukan pilot utama yang mengambil alih semuanya. Dengan kata lain, teknologi adalah alat bantu, bukan pengganti otak dan hati.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun
OSZAR »