David Ricardo (ekonom klasik) menyatakan bahwa ketika pemerintah mendanai stimulus fiskal melalui utang, rumah tangga yang rasional akan mengantisipasi kenaikan pajak di masa depan. Sebagai akibatnya, mereka akan menahan konsumsi dan meningkatkan tabungan, yang pada akhirnya menetralkan dampak ekspansif dari stimulus fiskal tersebut terhadap permintaan agregat. Namun, bisa jadi unik ketika dijalankan di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia.
Asumsi Ricardian Equivalence sulit untuk diterapkan secara universal, terutama dalam konteks negara berkembang (Raga, 2022). Menurutnya berdasarkan ulasan atas lebih dari 90 studi empiris lintas negara, Ia menekankan bahwa efektivitas stimulus fiskal sangat bergantung pada struktur ekonomi, kapasitas kelembagaan, dan perilaku rumah tangga di masing-masing negara. Di banyak negara berkembang, sebagian besar rumah tangga berada dalam kondisi liquidity-constrained atau hidup dari penghasilan harian, sehingga cenderung mengonsumsi setiap tambahan pendapatan yang mereka terima tanpa mempertimbangkan konsekuensi fiskal jangka panjang.
Indonesia adalah contoh relevan untuk membedah Ricardian Non-Equivalence. Pasca-pandemi COVID-19, pemerintah Indonesia menggelontorkan stimulus fiskal dalam berbagai bentuk, mulai dari bantuan sosial tunai, subsidi UMKM, hingga insentif pajak. Di tengah meningkatnya rasio utang pemerintah terhadap PDB, respons konsumsi masyarakat justru meningkat dalam kelompok rumah tangga rentan. Data BPS dan laporan Kementerian Keuangan menunjukkan bahwa stimulus tersebut berdampak nyata pada peningkatan konsumsi dasar, meskipun tidak selalu berdampak pada investasi produktif jangka panjang.
Ricardian Equivalence mengasumsikan agen ekonomi yang sepenuhnya rasional, melek fiskal, dan memiliki akses pasar keuangan. Sementara itu, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa sebagian besar populasi Indonesia tidak memiliki ekspektasi pajak yang kuat, tidak menabung secara aktif, dan menjadikan tambahan pendapatan dari pemerintah sebagai peluang konsumsi. Artinya, stimulus berbasis utang tetap mampu mendorong permintaan agregat dalam jangka pendek.
Namun, ini bukan berarti utang bisa terus dijadikan alat ekspansi tanpa batas. Efektivitas stimulus tetap sangat tergantung pada desainnya. Di negara berkembang, stimulus yang diarahkan pada kelompok rentan dan berbentuk belanja langsung (direct spending) cenderung memiliki multiplier fiskal yang lebih tinggi dibandingkan stimulus melalui pemotongan pajak atau belanja modal jangka panjang. Selain itu, penting bagi pemerintah untuk menyeimbangkan antara kebutuhan pemulihan ekonomi dan keberlanjutan fiskal jangka panjang agar tidak terjebak dalam krisis kepercayaan pasar.
Relevansi Ricardian Equivalence dalam hal ini bukan sekadar soal teoretis, tetapi soal memahami bagaimana masyarakat merespons kebijakan dalam konteks sosial dan institusional tertentu. Di Indonesia dan banyak negara berkembang lain, Ricardian Non-Equivalence tampaknya lebih mencerminkan realitas ekonomi yang sedang berlangsung.
Referensi:
Raga, Sherillyn. (2022). Fiscal Multipliers: A Review of Fiscal Stimulus Options and Impact on Developing Countries. ODI Working Paper. London: Overseas Development Institute.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI