Mentari pagi baru saja menyingkap kabut tipis di kaki Gunung Gamalama ketika aroma laut dan tanah basah bercampur menjadi satu di udara Ternate. Pulau kecil di timur Indonesia ini bukan hanya tempat tinggal saya, tapi juga panggung nyata dari kisah keterhubungan antara lanskap darat dan laut yang kini sedang diuji oleh perubahan zaman. Dalam skala kecil, Ternate mencerminkan wajah Indonesia: negeri kepulauan yang kaya akan biodiversitas namun rentan oleh tekanan manusia dan iklim.
Di lereng gunung, hutan-hutan tropis menyimpan cadangan air dan menjadi rumah bagi flora-fauna endemik. Di bawahnya, tanah-tanah dibuka untuk permukiman dan lahan produktif. Sementara itu, hanya beberapa kilometer dari sana, laut menanti limpahan air dan segala muatannya: tanah, sampah, bahkan bahan pencemar. Sedimentasi dari darat merusak terumbu karang, padang lamun kehilangan daya dukung, dan ikan-ikan menjauh dari zona tangkap nelayan.
Kehidupan darat dan laut tidak bisa dipisahkan. Ketika satu rusak, yang lain akan ikut terganggu. Forum Bumi yang diselenggarakan Yayasan KEHATI dan National Geographic Indonesia, menjadi panggung penting untuk menggali kembali kesadaran ini. Dalam salah satu sesi, Dr. Fitry Pakiding, pakar pengelolaan pesisir dari Universitas Hasanuddin, menyampaikan dengan tegas, "Pesisir dan laut adalah wajah depan dari ekosistem daratan. Maka mengelola laut dimulai dari menjaga daratannya." Kalimat ini sangat menggambarkan konteks daerah saya.
Sebagai ASN di Poltekkes Kemenkes Ternate dengan latar belakang laboratorium medik, saya terbiasa melihat keterkaitan antara lingkungan dan kesehatan masyarakat. Limbah domestik dari darat yang mengalir ke laut membawa serta patogen, mikroplastik, dan nutrien berlebih yang memicu eutrofikasi. Semua itu kembali ke meja makan kita, melalui ikan, udang, atau air yang kita konsumsi. Dalam banyak kasus, pencemaran ini tidak terlihat secara kasat mata, namun dampaknya nyata: meningkatnya kasus diare, penyakit kulit, bahkan gangguan reproduksi akibat logam berat yang terakumulasi dalam tubuh manusia.
Untuk menjawab tantangan tersebut, pendekatan lanskap terpadu menjadi keharusan. Tidak cukup hanya melindungi hutan atau memperluas kawasan konservasi laut. Kita perlu menghubungkan keduanya secara ekologi dan sosial. Pengelolaan lanskap terpadu berarti mempertimbangkan seluruh bentang alam—dari hulu, tengah, hingga hilir—sebagai satu kesatuan sistem.
Di Ternate, konsep ini bisa dimulai dari wilayah hulu—mengidentifikasi titik-titik rawan longsor dan erosi di kaki gunung, mengembalikan vegetasi alami, serta membangun sistem drainase berbasis bioengineering. Di zona tengah, perlu ada edukasi dan regulasi pengelolaan limbah domestik, terutama dari rumah tangga dan industri kecil. Dan di hilir, kawasan pesisir harus menjadi lokasi pemantauan kualitas air laut serta habitat penting seperti mangrove dan terumbu karang. Di sinilah kerja sama lintas sektor menjadi penting: dinas lingkungan hidup, pendidikan, kesehatan, dan perikanan harus duduk bersama.
Masyarakat lokal sebenarnya telah memiliki nilai-nilai pengelolaan lanskap secara terpadu. Di beberapa desa pesisir, dikenal istilah "toma ge nusa" yang berarti hidup dalam keseimbangan dengan tanah dan laut. Filosofi ini bisa menjadi fondasi kuat untuk membangun sistem pengelolaan lanskap berbasis masyarakat.
Contohnya, program larangan menangkap ikan di wilayah tertentu selama musim bertelur, atau larangan membuka lahan di daerah dekat mata air, telah lama diterapkan secara adat. Hanya saja, pendekatan ini belum sepenuhnya diadopsi oleh kebijakan formal. Penguatan kelembagaan adat dan pengakuan terhadap kearifan lokal harus menjadi bagian dari solusi. Dalam konteks ini, peran tokoh adat, guru lokal, dan kelompok perempuan menjadi penting untuk memastikan bahwa praktik tradisional yang ramah lingkungan tetap lestari dan dihargai.
Sebagai tenaga laboratorium pendidikan, saya melihat potensi besar menjadikan laboratorium tidak hanya sebagai tempat analisis sampel, tapi juga pusat edukasi ekologi lanskap. Mahasiswa bisa diajak turun ke lapangan untuk mengambil sampel air dari hulu hingga hilir, lalu menganalisis kandungan coliform, logam berat, dan parameter biotik lainnya.
Melalui praktik tersebut, mereka tidak hanya belajar teknik laboratorium, tetapi juga memahami bahwa setiap tetes air membawa cerita dari gunung ke laut. Mereka bisa menghubungkan antara deforestasi dengan kualitas air minum, atau antara pencemaran laut dengan hasil tangkapan nelayan. Hal ini sekaligus membentuk kesadaran kritis di kalangan generasi muda akan pentingnya ilmu laboratorium dalam mendukung pembangunan berkelanjutan.
Sebagai alternatif dari pendekatan institusional, saya mengusulkan pelaksanaan kampanye edukasi lanskap berbasis komunitas. Kampanye ini dapat diwujudkan dalam bentuk lokakarya rutin, pameran lingkungan, dan kegiatan eksplorasi alam yang melibatkan pelajar, mahasiswa, kelompok nelayan, hingga ibu-ibu rumah tangga.