Menurut psikolog organisasi Dr. Irma Sari, M.Psi, inklusivitas tidak cukup hanya di level wacana. "Perubahan harus dilakukan dari proses penyaringan awal. Kalau algoritma ATS (Applicant Tracking System) sudah diatur untuk memilih kandidat dengan usia tertentu, maka slogan inklusif hanya jadi pemanis brosur," ujarnya dalam diskusi publik di awal 2025 lalu.
Namun bukan berarti tidak ada harapan. Ada perusahaan-perusahaan progresif, terutama startup yang mulai menyadari potensi pekerja lintas usia dan rupa. Misalnya, sebuah startup teknologi di Bandung secara terbuka menyatakan bahwa mereka menerima pelamar hingga usia 55 tahun dan tidak mewajibkan foto di CV. Meski jumlahnya masih minoritas, langkah-langkah kecil ini patut diapresiasi.
Sebagai masyarakat, kita pun punya peran. Narasi soal keberagaman di tempat kerja harus terus digaungkan, bukan hanya oleh HR dan perusahaan, tetapi juga oleh pelamar, komunitas profesi, dan media. Kita perlu terus bertanya:
"Apakah standar ini relevan, atau hanya warisan bias lama yang belum mau kita lepaskan?"
Dan bagi para pencari kerja yang merasa tersisih karena usia atau penampilan:
Ingatlah bahwa nilai dirimu tidak bisa diukur dari angka di KTP atau pantulan cermin. Terus tingkatkan kompetensi, perluas jejaring, dan cari ruang kerja yang benar-benar menghargai keberagaman --- bukan hanya memajangnya sebagai tagline.
Penutup:
Menyingkirkan syarat "maksimal usia 30 tahun" atau "berpenampilan menarik" memang langkah awal. Tapi pekerjaan rumah yang lebih besar adalah membangun sistem rekrutmen yang betul-betul adil, berbasis kompetensi dan etika kerja. Sampai hari itu datang, kita akan terus bertanya:
"Memang ada, ya, lokernya?"
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI