Gembar-gembor tentang sayang murid, dedikasi mendidik, hingga misi mencerdaskan kehidupan bangsa, kerap terdengar lantang di forum-forum dan podium-podium. Namun, ketika tiba saatnya mengawasi ulangan, tak jarang kita menyaksikan pengabaian yang menyedihkan, siswa dibiarkan leluasa menyontek tanpa pengawasan yang layak. Rasanya, hati ini menjadi miris.
Terus terang, saya sering merasa nggondhok melihat kelakuan sebagian rekan guru yang tampak abai saat mengawasi ulangan murid-murid kita di sekolah.
Padahal, ini bukan sekadar soal menjalankan tugas pokok dan fungsi (tupoksi) sebagai guru. Ini bukan hanya soal penilaian. Ini adalah soal kejujuran. Soal moral. Soal masa depan bangsa.
Apa yang akan terjadi pada negeri tercinta ini jika kejujuran tidak dijadikan pijakan utama dalam pendidikan karakter murid-murid kita?
Kita sering lantang menyuarakan semangat antikorupsi. Kita menggemakan slogan-slogan seperti “Berani Jujur Hebat”, “Pantang Korupsi”, atau “Integritas di Atas Segalanya”.
Namun, dalam praktik sehari-hari, kita sering abai terhadap celah-celah kecil yang justru menjadi akar dari pembiaran ketidakjujuran, membiarkan murid menyontek saat ujian!
Jangankan mengawasi ujian dengan sungguh-sungguh, yang terjadi justru sebaliknya. Setelah membagikan soal dan lembar jawaban, tak sedikit dari kita yang memilih duduk manis, membuka ponsel, menyelesaikan pekerjaan lain, atau sekadar bersandar santai hingga waktu ujian usai. Seolah-olah kehadiran kita hanya formalitas belaka.
Saya tidak sedang meludah di kolam sendiri. Bukan pula bermaksud menampilkan sisi buruk dari profesi yang kita cintai ini. Tapi saya ingin bersuara.
Saya ingin mengajak kita semua untuk merenung, melakukan introspeksi mendalam, bahwa abai dalam mengawas ujian adalah preseden buruk bagi integritas bangsa.
Jika guru saja menganggap enteng kejujuran, bagaimana kita berharap murid-murid kita akan menjunjung tinggi nilai tersebut?