Mohon tunggu...
Narul Hasyim Muzadi
Narul Hasyim Muzadi Mohon Tunggu... Language education

Belajar mencoret

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Belajar Membaca yang Tak Terucap

22 Maret 2025   11:45 Diperbarui: 26 Maret 2025   09:42 255
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi keheningan | Image by pixabay/patrizia08

Kita keliru sekali jika lari dari sebuah kenyataan hidup. Sungguh, kalau kau berusaha lari dari kenyataan itu, kau hanya menyulitkan diri sendiri. Ketahuilah semakin keras kau berlari, maka semakin kuat cengkramannya. Semakin kencang kau berteriak melawan, maka semakin kencang pula gemanya memantul, memantul, dan memantul memenuhi kepala - Tere Liye, Rindu.

Kenyataan tidak bisa dihindari, begitu pula dengan rasa sakit dan kesedihan yang kerap menyertainya. Ada hal-hal dalam hidup yang lebih banyak disimpan daripada diungkapkan.

Tidak semua orang nyaman mengutarakan perasaannya. Kadang, diam bukan berarti tidak ada yang ingin disampaikan, melainkan karena tidak semua perasaan bisa diterjemahkan menjadi kalimat yang tepat.

Kita hidup di dunia yang terbiasa menuntut jawaban eksplisit. Ketika seseorang terlihat murung, refleks pertama kita adalah bertanya, "Kenapa?" seolah-olah semua perasaan dapat dijelaskan dalam satu atau dua kalimat.

Kenyataannya, ada luka yang terlalu kompleks untuk diceritakan, ada kesedihan yang terlalu dalam untuk dijelaskan, dan ada kelelahan yang bahkan si pemilik rasa pun tidak tahu harus mulai dari mana.

Kesalahan dalam Menafsirkan Keheningan

Banyak yang mengira bahwa komunikasi adalah soal berbicara dan mendengar. Albert Mehrabian (1971) dalam bukunya Silent Messages, menjelaskan bahwa dalam komunikasi tatap muka, hanya 7% makna yang disampaikan lewat kata-kata, sementara 93% lainnya berasal dari bahasa tubuh dan intonasi suara. Itu berarti, ada banyak hal yang dikatakan seseorang tanpa benar-benar berbicara.

Sebagian orang tidak berbicara bukan karena mereka tidak ingin didengar, tetapi karena pernah mencoba dan merasa diabaikan. Ada luka yang terlalu sering dianggap remeh, ada cerita yang tidak diungkapkan karena takut dinilai berlebihan.

Dan dalam banyak kasus, mereka hanya ingin ada seseorang yang cukup peka untuk menyadari bahwa ada sesuatu yang tidak beres, tanpa harus menunggu mereka berbicara lebih dulu. Mereka ingin didekati tanpa merasa diinterogasi, ingin didengar tanpa merasa dipaksa untuk menjelaskan.

Sayangnya, tidak semua orang memiliki kepekaan terhadap sesuatu yang tidak terucap. Sering kali, kita hanya fokus pada apa yang dikatakan seseorang, tanpa memperhatikan bagaimana ia mengatakannya. Justru, cara seseorang menarik nafas, ekspresi saat berbicara, atau jeda di antara kata-kata bisa memberi tahu lebih banyak daripada kalimat yang ia ucapkan.

Kita bisa mulai dari hal-hal sederhana. Misalnya, ketika seseorang menjawab pertanyaan dengan "Aku baik-baik saja", apakah nadanya terdengar meyakinkan? Apakah ia tersenyum, tetapi matanya tidak? Apakah bahunya terlihat tegang, atau nafasnya berat? Perubahan sekecil apa pun bisa menjadi petunjuk tentang apa yang sebenarnya terjadi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun
OSZAR »