Mohon tunggu...
Narul Hasyim Muzadi
Narul Hasyim Muzadi Mohon Tunggu... Language education

Belajar mencoret

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Saat Pikiran Berisik, Tapi Mulut Enggan Bersuara

28 Maret 2025   05:41 Diperbarui: 28 Maret 2025   14:37 451
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilistrasi pikiran berisik | Image by Lilpoe/Pinterest

Jika seseorang pernah mengalami pengalaman buruk, seperti dipermalukan atau diremehkan saat berbicara, maka otak mereka dapat membentuk pola perlindungan dengan menghindari situasi serupa di masa depan.  

Saya masih ingat pengalaman di mana saya pernah menyampaikan sesuatu, tetapi tanggapan yang saya dapatkan justru kurang menyenangkan. Sejak saat itu, tanpa sadar saya menjadi lebih selektif dalam berbicara. Bukan karena tidak ingin berbicara, tetapi karena ingin menghindari pengalaman yang sama terulang kembali.

Bagaimana Mengatasinya?

Setelah mencoba memahami fenomena ini, saya menyadari bahwa kesulitan dalam mengungkapkan pikiran bukanlah sesuatu yang tidak bisa diubah. Ada beberapa cara yang bisa dilakukan untuk melatih kemampuan ini:  

  • Mengenali perasaan sendiri. Sebelum berbicara, coba refleksikan terlebih dahulu, apa yang sebenarnya ingin disampaikan?  
  • Mengurangi overthinking. Tidak semua pendapat harus sempurna. Yang terpenting adalah bagaimana menyampaikannya dengan jelas.  
  • Berlatih berbicara. Bisa dimulai dengan diskusi dalam kelompok kecil atau berbicara dengan orang-orang yang sudah dipercaya.  
  • Menulis sebagai latihan. Jika berbicara terasa sulit, menulis bisa menjadi cara untuk mengekspresikan pikiran terlebih dahulu.  
  • Membangun lingkungan yang suportif. Dikelilingi oleh orang-orang yang mau mendengarkan tanpa menghakimi dapat membantu membangun rasa percaya diri dalam berbicara.  

Kemampuan berbicara bukan hanya soal kefasihan dalam berbahasa, tetapi juga soal bagaimana seseorang memahami dan mengelola emosi serta pengalamannya. Saya sendiri masih terus belajar dalam hal ini, dan tulisan ini adalah bagian dari proses tersebut.  

Referensi

  • Damasio, A. R. (1994). Descartes’ error: Emotion, reason, and the human brain. G.P. Putnam’s Sons.  
  • Freud, S. (1923). The ego and the id. W.W. Norton & Company.  
  • Goleman, D. (1995). Emotional intelligence: Why it can matter more than IQ. Bantam Books.  
  • Hofstede, G. (1980). Culture’s consequences: International differences in work-related values. Sage Publications.
  • LeDoux, J. (1996). The emotional brain: The mysterious underpinnings of emotional life. Simon & Schuster.  
  • May, R. (1953). Man’s search for himself. W.W. Norton & Company.  
  • Rogers, C. (1961). On becoming a person: A therapist’s view of psychotherapy. Houghton Mifflin.  

Pena Narr, Belajar Mencoret...

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun
OSZAR »