Benar adanya. Kita sering terlalu sibuk melihat ke depan, sampai lupa menoleh ke belakang. Kadang, yang kita sebut "biasa saja" hari ini... adalah sesuatu yang dulu pernah begitu kita doakan.Â
Pernah kita tulis diam-diam di buku harian, pernah kita bisikkan di atas sajadah, pernah kita pikirkan sebelum tidur dengan dada yang hangat karena berharap. Yang kini terasa datar, pernah jadi gemuruh di dalam dada.
Coba duduk sejenak. Tarik napas. Lihat hidupmu sekarang. Apakah semuanya sempurna? Tentu tidak. Tapi bukankah ada satu-dua hal yang dulu kamu ingin sekali miliki dan sekarang sudah ada di tanganmu?Â
Rumah kecil yang nyaman, pekerjaan yang membuatmu bisa bertahan, atau mungkin cuma ketenangan hati yang dulu terasa langkah.
Rasa tidak puas itu wajar. Kita manusia. Diberi akal dan naluri untuk bergerak, berubah, tumbuh. Tapi jika tidak diimbangi dengan rasa syukur, kita bisa kehilangan rasa cukup.
Kita bisa terjebak dalam ilusi bahwa apa yang sekarang belumlah layak disyukuri, hanya karena kita membandingkan dengan pencapaian orang lain yang tampak lebih bersinar.
Abraham Maslow menyebut ini dalam Hierarchy of Needs-nya. Ketika kebutuhan dasar seperti makan, tempat tinggal, dan rasa aman sudah terpenuhi, manusia akan naik level: mencari cinta, haus akan validasi, lalu aktualisasi diri.
Tapi yang sering luput kita sadari, kata Maslow juga, fondasi dari semua itu adalah stabilitas emosional dan spiritual:Â rasa cukup, rasa disayang, rasa diterima, dan rasa syukur
Kalau dasar ini goyah, pencapaian setinggi apapun hanya akan terasa hampa. Dan ya, mungkin itu alasan mengapa banyak orang yang tampak sukses di luar, tapi rapuh di dalam.
Kita mengejar banyak hal, tapi lupa menikmati yang sudah digenggam. Mengejar validasi, tapi lupa bersyukur atas ketulusan. Mengejar kesempurnaan, tapi lupa berterima kasih pada proses.