Dalam beberapa tahun terakhir, tren perawatan kulit atau skincare mengalami ledakan popularitas yang luar biasa, terutama di kalangan remaja. Platform media sosial seperti TikTok, Instagram, dan YouTube dipenuhi dengan konten bertema skincare routine, rekomendasi produk glowing, serta tantangan before-after yang memperlihatkan perubahan drastis kulit wajah. Tak sedikit remaja yang mulai mengenal produk skincare sejak usia belia, bahkan sebelum masuk masa pubertas. Hal ini menimbulkan pertanyaan menarik: Apakah skincare telah menjadi bentuk self-care yang sehat, atau justru sekadar gaya hidup yang konsumtif dan berisiko?
Skincare Sebagai Bentuk Self-Care
Tidak bisa dipungkiri bahwa merawat kulit memang bagian dari menjaga kebersihan dan kesehatan diri. Aktivitas mencuci wajah, memakai pelembap, sunscreen, hingga melakukan perawatan mingguan seperti masker atau exfoliating sebenarnya dapat memberikan dampak positif, tidak hanya bagi kulit, tetapi juga kesehatan mental.
Bagi sebagian remaja, melakukan skincare rutin menjadi ritual relaksasi dan "me time" yang menyenangkan. Dalam tekanan kehidupan sekolah, media sosial, dan pencarian jati diri, kegiatan perawatan kulit bisa menjadi cara untuk menenangkan pikiran. Aktivitas ini memberi rasa kontrol terhadap tubuh sendiri dan meningkatkan rasa percaya diri.
Sejumlah penelitian psikologi bahkan menyebutkan bahwa kegiatan self-care, termasuk perawatan diri secara fisik, dapat meningkatkan suasana hati, menurunkan tingkat stres, dan membantu remaja mengembangkan harga diri positif. Dalam konteks ini, skincare memang bisa disebut sebagai salah satu bentuk self-love.
Pengaruh Media Sosial dan Budaya Visual
Namun di sisi lain, maraknya tren skincare juga tidak lepas dari pengaruh budaya media sosial yang menekankan pada penampilan visual. Wajah glowing, pori-pori kecil, dan kulit tanpa jerawat seakan menjadi standar kecantikan yang harus dicapai oleh semua orang, bahkan oleh anak usia belasan tahun yang secara alami memang sedang mengalami perubahan hormonal.
Fenomena ini mendorong lahirnya tekanan sosial baru. Banyak remaja merasa tidak percaya diri jika wajah mereka tidak sesuai dengan standar "skin goals" yang dilihat di media sosial. Mereka pun berlomba-lomba membeli berbagai produk skincare, kadang tanpa memahami kandungan dan fungsinya, hanya demi tampil sempurna di depan kamera.
Di sinilah letak masalahnya. Perawatan diri yang semestinya sehat dan menyenangkan berubah menjadi tekanan gaya hidup konsumtif. Remaja terpacu membeli serum mahal, essence impor, hingga perangkat skincare berteknologi canggih seperti LED mask atau face roller, padahal belum tentu dibutuhkan.
Perilaku Konsumtif dan Risiko Kesehatan Kulit