Saat ini, kita hidup dalam zaman serba cepat. Pesan makanan cukup lewat aplikasi, pengiriman ekspres pun tiba hari ini, juga  informasi yang dapat diterima dalam hitungan detik. Dunia bergerak dengan kecepatan tidak terbendung dan kita pun dituntut untuk ikut berlari di dalamnya. Namun, di tengah kecepatan ini, ada satu hal yang nyaris tidak terdengar: nafas alam yang makin sesak. Kita tidak hanya mengonsumsi barang atau jasa---kita juga mengonsumsi waktu. Dalam tiap detik yang dipercepat itu, jejak karbon terus tersisa lebih dalam dari yang kita kira.
Hari ini, waktu bukan lagi semata-mata tentang pagi dan malam, bukan pula sekadar pembatas antara bekerja dan istirahat. Waktu telah menjadi komoditas. Dalam masyarakat modern, waktu pun "diperjual-belikan". Siapa yang bisa lebih cepat, lebih efisien, dan lebih instan akan dianggap menang. "Time is money" adalah jargon yang dipegang teguh sampai sekarang. Namun, dalam konteks krisis iklim global, waktu yang kita "hemat" itu---dalam banyak hal---malah menumpuk tagihan ekologis yang lebih mahal.
Mari kita lihat contoh sederhana: makanan cepat saji. Ia dapat sampai ke tangan kita dalam 10 menit. Tapi, dari peternakan ke rumah poong, dari distribusi ke pendinginan, dari pengemassan ke pengantara---semuanya menyumbang jejak karbon melalui energi, air, dan bahan bakar. Waktu kita yang hemat menjadi emisi karbon. Kita mungkin merasa hanya menghabiskan 10 menit untuk makan, tapi bumi telah menghabiskan jauh lebih banyak sumber daya untuk mengantarkannya ke meja makan kita.
Tidak jauh beda dengan fast fashion. Kita membeli baju murah, trennya berubah tiap dua minggu, lalu dibuang. Laporan dari Ellen MacArthur Foundation, dunia memproduksi sekitar 100 miliar potong pakaian dan lebih dari 50% dibuang dalam waktu kurang dari setahun. Sementara itu, industri tekstil mencatatkan diri sebagai penyumbang 10% dari total emisi karbon global. Semakin cepat kita berganti pakaian, semakin cepat pula karbon dikirim ke atmosfer.
 Â
Kita hidup dalam budaya instan. Budaya ini menciptakan pola konsumsi yang rakus dan tanpa jeda. Â Budaya dimana jeda dianggap kemunduran, lambat dianggap malas, dan waktu senggang seringkali dicap tidak produktif. Padahal, dalam banyak kasus, percepatan itu menuntut pengorbanan---baik dari sisi sosial maupun ekologis. Menurut Schor, dalam penelitian tentang ekonomi ekologis, percepatan konsumsi global berdampak langsung pada peningkatan emisi karbon dan eksploitasi sumber daya alam secara berlebihan. Dari kopi instan dalam gelas plastik hingga pakaian murah yang hanya dipakai dua kali lalu dibuang, semua terjadi dalam waktu yang sangat sinkat---namun melalui rantai produksi dan distribusi yang panjang dan intensif energi. Jejak karbon dari proses-proses inilah yang secara tidak langsung mencekik bumi.
Â
Namun, kita pun jarang melihat hubungan langsung antara gaya hidup cepat dengan kerusakan lingkungan. Mungkin ini karena jejak karbon tidak kasatmata. Ia tidak berisik. Ia tidak mengganggu konsentrasi kita seperti notifikasi ponsel atau rapat dadakan. Tapi, jejak karbon itu terus mengendap. Ia terakumulasi dalam bentuk suhu global yang naik, pola cuaca yang tidak menentu, dan musim yang tidak lagi akurat. Rosa & Dietz dalam penelitiannya menekankan bahwa konsumsi rumah tangga dalam masyarakat maju---yang didorong oleh kecepatan dan efisiensi---berkontribusi besar terhadap emisi gas rumah kaca. Konsumsi instan memerlukan produksi instan, distribusi instan, dan siklus hidup produk yang pendek. Semua itu menuntut energi dalam jumlah besar yang mana sebagian besar masih berbasis fosil. Sementara itu, bumi hanya memiliki satu sistem pemulihan: waktu. Dan itulah yang tidak kita beri.
Â
Bayangkan bumi sebagai tubuh yang sakit. Kita, manusia, adalah pasien yang enggan istirahat. Kita menolak tidur, menolak jeda, terus bekerja, terus menelan pil efisiensi. Hingga pada suatu hari, tubuh ini akan tidak dapat lagi diajak kompromi. Ia koma, ia diam, ia rusak. Itulah yang dapat terjadi pada alam hari ini. Hutan-hutan menggundul, suhu di lautan meningkat, es mencair. Dan kita hanya memandang semua fenomena itu sebagai "anomali". Padahal, itu adalah respons tubuh bumi terhadap gaya hidup manusia yang rakus akan waktu cepat.