Dalam beberapa tahun terakhir, istilah khitbah makin sering terdengar di kalangan anak muda. Tidak lagi hanya dibicarakan dalam majelis-majelis taklim atau kursus pranikah, tapi juga ramai di media sosial---mulai dari unggahan lamaran islami, video "taaruf dulu baru khitbah," hingga thread viral tentang batalnya khitbah.Â
Pertanyaannya, apakah khitbah di kalangan generasi muda saat ini benar-benar menjadi langkah serius menuju pernikahan? Ataukah justru mulai bergeser menjadi sekadar tren dan simbol status?
Khitbah: Lebih dari Sekadar Lamaran
Dalam Islam, khitbah adalah proses lamaran yang menjadi pintu masuk menuju pernikahan. Ia bukan akad, tapi sebuah janji dan komitmen awal. Dalam praktiknya, khitbah menunjukkan keseriusan seseorang untuk menjalin hubungan yang halal dan sesuai syariat. Namun, karena khitbah belum sah secara hukum agama maupun negara, ia masih bisa dibatalkan.
Hal inilah yang menjadi perbedaan besar antara khitbah dan pernikahan. Tapi sayangnya, tidak sedikit anak muda yang memposisikan khitbah seolah-olah sudah "menikah secara spiritual," padahal tanggung jawab dan hak-haknya belum ada secara utuh.
Fenomena "Khitbah Kekinian"
Di era media sosial, banyak hal menjadi viral, termasuk khitbah. Lamaran yang dulu bersifat privat kini kerap menjadi tontonan publik---dokumentasi estetik, narasi religius yang menyentuh, bahkan disponsori oleh brand tertentu. Ini tentu tidak sepenuhnya salah. Namun yang menjadi persoalan adalah ketika khitbah hanya dijadikan ajang pencitraan atau pembuktian status sosial.
Sebagian orang "berani khitbah" padahal belum benar-benar siap menikah. Ada yang terjebak pada tekanan lingkungan, tren hijrah, atau keinginan untuk terlihat "lebih Islami" di mata netizen.Â
Akibatnya, ketika realitas hidup pasca-khitbah menghantam---ketidaksiapan finansial, ketidakcocokan karakter, atau tekanan keluarga---banyak khitbah yang akhirnya batal dan menyisakan luka.
Khitbah Perlu Kesiapan, Bukan Sekadar Keberanian