Kenapa Sih Kita Nge-Dive? Sebuah Renungan Personal
Jujur saja, siapa yang bisa menolak godaan dunia bawah laut? Gemericik ombak di permukaan, bisikan laut yang menenangkan, lalu... boom! Dunia lain terhampar di depan mata. Terumbu karang warna-warni, ikan-ikan yang seolah menari, dan sensasi melayang di antara semuanya. Pengalaman ini, bagi saya pribadi, adalah candu yang sulit dilepaskan. Bukan cuma liburan biasa, ini semacam pelarian spiritual yang bikin kita merasa nyambung sama alam.
Tapi, kadang saya mikir, di balik semua keindahan itu, seberapa ngeh sih kita sama jejak yang kita tinggalkan? Kita datang sebagai "ecotourist", tapi apa benar kita membawa "eco" dalam setiap jengkal fin kita di dalam air? Jurnal-jurnal yang saya baca belakangan ini, membuka mata saya lebar-lebar tentang dilema ini.
Dampak yang Sering Kita Lupakan: Lebih dari Sekadar Sentuhan Tak Sengaja
Kita sering dengar briefing sebelum menyelam: "Jangan sentuh karang!" Klise, tapi fundamental. Masalahnya, kerusakan yang kita timbulkan itu jauh lebih kompleks dari sekadar sentuhan tak sengaja. Firth et al (2023) jelas bilang, penyelam pemula itu ibarat "bulldozer" mini di bawah air. Satu dari enam kali penyelaman mereka bisa merusak karang. Penyelam yang udah ahli pun, meskipun lebih hati-hati, tetap menyumbang kerusakan.
Dan yang paling bikin saya geleng-geleng kepala: fotografer bawah air. Sembilan dari sepuluh kali nge-dive, mereka bisa bikin kerusakan. Padahal, tujuan mereka merekam keindahan. Ironis, kan? Belum lagi perahu-perahu selam yang buang jangkar sembarangan, suara bising mesin, bahkan polusi kimia. Itu semua bikin karang stres, bleaching, dan akhirnya mati. Ini bukan cuma soal "pengalaman buruk", tapi ancaman nyata bagi ekosistem. Kita kadang sibuk posting foto indah, tapi lupa bahwa di balik layar, karang-karang itu menjerit.
Kawasan Konservasi: Harapan atau Sekadar Stiker Cantik?
Di sinilah peran daerah perlidungan laut (MPA) jadi penting. Harusnya, ini jadi benteng terakhir bagi kelestarian laut. Tapi, nyatanya, pengelolaan di MPA pun seringkali ruwet. Kepuasan penyelam bisa menurun di MPA yang terlalu ketat aturannya, meskipun tujuannya baik. Ini kayak makan buah simalakama: dilindungin ketat takut turis kabur, dilonggarin takut rusak.
Kunci utamanya adalah komunikasi dan sense of belonging. Operator selam dan pengelola MPA harus lebih terbuka dan transparan. Jelaskan kenapa ada aturan, libatkan masyarakat lokal, dan tunjukkan manfaat nyata dari konservasi. Bukan cuma daftar "jangan ini, jangan itu," tapi "lakukan ini untuk kebaikan bersama." Kalau masyarakat lokal merasa punya andil dan dapat manfaat, mereka akan jadi garda terdepan penjaga laut.
Interaksi Penyelam dan Biota: Lebih dari Sekadar Sapaan
Kita sering menganggap diri kita "pecinta laut," namun interaksi kita dengan biota laut bisa jauh lebih kompleks dari yang dibayangkan. Kerusakan pada terumbu karang seringkali bukan hanya disengaja. Riset menunjukkan bahwa penyelam, terutama yang kurang berpengalaman, bisa tidak sengaja merusak karang dengan sirip atau sentuhan. Bahkan fotografer bawah air, yang niatnya mengabadikan keindahan, kadang tak sadar menyebabkan kerusakan signifikan demi mendapatkan angle sempurna.
Lebih dari itu, dampak tidak langsung juga besar. Perahu-perahu selam yang beroperasi di sekitar kita, entah itu karena jangkar yang merusak dasar laut atau polusi suara dan kimia dari mesin, semuanya berkontribusi pada stres dan degradasi ekosistem. Ini adalah cerminan jejak karbon yang kita bawa dari darat ke laut.
Menjadi Penyelam "Baik": Bukan Sekadar Aturan, Tapi Hati
Jadi, bagaimana seharusnya kita bertindak sebagai penyelam yang bertanggung jawab, terutama di kawasan konservasi?
* Pahami Diri: Kenali tingkat kemampuan menyelam Anda. Jika Anda masih pemula, jangan paksakan diri ke lokasi yang menantang atau terlalu padat. Belajarlah mengontrol buoyancy dengan sempurna. Buoyancy yang buruk adalah musuh utama terumbu karang.
* Hormati Batasan: Di Kawasan Konservasi Laut (MPA), aturan dibuat untuk tujuan mulia. Memang, kadang aturannya ketat, dan mungkin terasa membatasi pengalaman. Namun, penelitian menunjukkan bahwa MPA yang dikelola dengan baik tetap menarik, meskipun ada penurunan kepuasan jika aturannya terlalu kaku atau kurang sosialisasi. Penting bagi pengelola untuk menemukan keseimbangan antara konservasi dan pengalaman pengunjung.
*Edukasi Biota: Jika Anda berinteraksi dengan biota yang dilindungi seperti hiu paus, pastikan Anda tahu etika yang benar. Jaga jarak aman, jangan mengejar, dan hindari sentuhan. Industri wisata selam hiu memang menjanjikan keuntungan ekonomi besar, bahkan bisa melampaui pendapatan dari perikanan hiu. Namun, potensi ini terancam jika populasi hiu terus menurun akibat penangkapan ikan yang tidak diatur. Sebagai penyelam, kita punya kekuatan untuk memilih operator yang berkomitmen pada praktik berkelanjutan dan melaporkan aktivitas yang merusak. Ini bukan hanya tentang menikmati, tapi juga tentang melindungi masa depan mereka.
Terumbu Buatan: Solusi Inovatif atau "Sampah" Berkedok Konservasi?