Apakah Anda adalah seorang pencari kerja yang baru saja menjalani sesi wawancara yang berjalan lancar? Rekruter tampak antusias, memberikan sinyal positif, dan berjanji akan memberi kabar dalam waktu dekat.Â
Namun, hari berganti minggu, dan tidak ada satu pun email atau pesan yang masuk. Anda mulai bertanya-tanya, bukan hanya soal hasil wawancara, tetapi juga soal harga diri Anda sebagai profesional.
Fenomena seperti ini dikenal sebagai ghosting, praktik ketika perusahaan atau rekruter tiba-tiba memutus komunikasi dengan pelamar tanpa kejelasan.Â
Dalam banyak kasus, pelamar tidak mendapatkan kabar apakah mereka diterima, ditolak, atau bahkan sekadar ucapan terima kasih atas partisipasi mereka. Praktik ini kian menjadi perhatian karena tidak hanya merugikan pelamar, tetapi juga berpotensi merusak reputasi perusahaan itu sendiri.
Di era digital saat ini, di mana transparansi dan humanisasi proses kerja menjadi nilai utama, ghosting bukan sekadar masalah etika, melainkan isu strategis dalam manajemen talenta dan employer branding. Bagaimana fenomena ini bisa terjadi, dan mengapa perusahaan perlu berhenti mempraktikkannya? Mari kita bahas lebih dalam.
Apa Itu Ghosting dalam Dunia Rekrutmen?
Istilah "ghosting" memang lebih dahulu dikenal di dunia hubungan interpersonal, tetapi kini merambah pula ke ranah profesional. Dalam konteks rekrutmen, ghosting merujuk pada praktik ketika perusahaan menghentikan komunikasi dengan pelamar secara sepihak, tanpa penjelasan atau konfirmasi hasil proses seleksi.
Pelamar yang telah melalui beberapa tahap, seperti interview, psikotes, bahkan diskusi gaji, sering kali dibiarkan menunggu tanpa kepastian. Lebih parah lagi, tidak sedikit kasus di mana pelamar sudah menerima janji "akan dikabari dalam waktu dekat," namun tidak pernah mendapatkan update apa pun.
Dampaknya Tidak Sepele Terhadap Pelamar Kerja
Bagi pencari kerja, ghosting menimbulkan berbagai dampak. Selain rasa kecewa, muncul juga stres, kecemasan, bahkan gangguan kepercayaan diri. Beberapa pelamar mengaku menolak tawaran kerja lain karena terlalu berharap pada satu perusahaan yang kemudian tak memberi kabar.