Tangerang Selatan, 28 Juni 2025 -- Bahasa Indonesia adalah warisan budaya yang tak ternilai. Ia lahir dari perjuangan panjang para pendiri bangsa yang ingin menyatukan ribuan pulau, ratusan bahasa daerah, dan jutaan rakyat dalam satu identitas bersama. Namun, di tengah arus globalisasi dan kemajuan teknologi, bahasa nasional kita kini menghadapi ujian paling berat: dilupakan oleh generasi penerusnya sendiri.
Bahasa Asing Menjadi Tren, Bahasa Sendiri Diabaikan
Tak bisa dipungkiri, generasi muda saat ini lebih akrab dengan istilah asing dan bahasa gaul internet daripada bahasa Indonesia baku. Kata-kata seperti "random", "cringe", "gas", "healing", atau "spoiler alert" telah menjadi bagian dari percakapan sehari-hari---bahkan dalam ruang akademik. Bukan berarti menggunakan bahasa asing itu salah, tapi ketika intensitas penggunaannya membuat bahasa sendiri tersingkir, maka ini adalah tanda bahaya.
Bahasa Indonesia mulai kehilangan tempatnya di media sosial, konten video, bahkan ruang diskusi formal. Banyak konten kreator memilih bahasa campur karena dianggap lebih keren dan mudah viral. Tanpa disadari, ini membuat penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar dianggap kuno atau membosankan.
Identitas Bangsa yang Mulai Tergerus
Bahasa adalah salah satu pilar utama identitas nasional. Ketika suatu bangsa kehilangan bahasanya, maka ia sedang kehilangan jati dirinya. Bahasa Indonesia tidak hanya sebagai alat komunikasi, tapi juga simbol persatuan, kekuatan kultural, dan penanda kebangsaan.
Sayangnya, banyak anak muda tidak menyadari hal ini. Mereka lebih bangga menguasai bahasa asing daripada memperdalam bahasa ibunya. Ini bukan hanya soal pilihan kosakata, tapi soal sikap mental terhadap nilai-nilai kebangsaan.
Bahasa Digital vs Bahasa Nasional
Di era digital, bahasa berkembang sangat cepat. Slang internet, meme, dan istilah viral menciptakan semacam "sub-bahasa" baru. Ini memang bagian dari evolusi linguistik. Namun, ketika perubahan itu tidak dibarengi dengan kesadaran literasi, yang terjadi adalah kerusakan, bukan perkembangan.
Contohnya, banyak pengguna media sosial yang menyebarkan informasi hoaks dengan bahasa yang meyakinkan, tapi sesat. Banyak juga debat online yang menggunakan bahasa kasar dan sarkastik tanpa etika. Hal ini membuktikan bahwa literasi berbahasa tidak cukup hanya tahu berbicara, tetapi juga tahu bagaimana berbicara dengan benar dan bertanggung jawab.
Peran Generasi Muda dalam Menyelamatkan Bahasa