Mohon tunggu...
Zulfa Salman
Zulfa Salman Mohon Tunggu... Penulis | Mahasiswa

Senang menjahit kata-kata

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Menstruasi dalam Patriarki

23 Juni 2025   14:02 Diperbarui: 23 Juni 2025   14:06 51
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Breaking Down Patriarchy Podcast

Masih ingat dengan menstruasi pertamamu? Saya masih. 

Ketika itu saya duduk di bangku sekolah dasar (SD), saya lupa tepatnya kelas berapa, tapi yang saya ingat jelas adalah: saya malu dan menyembunyikan hal tersebut dari teman-teman saya. Alasannya sederhana, karena saya dengar mereka menggosipkan salah satu teman kami yang ketika kelas 3 SD sudah menstruasi. Rasa malu ini sampai di taraf saya harus mengganti pembalut saya diam-diam di sekolah dan menghindari pertanyaan "kenapa nggak salat?" bagaimana pun caranya. Di dalam kamar mandi pun saya sangat berhati-hati agar gerakan ketika membuka plastik pembalut tidak terdengar sampai luar.

Padahal, seharusnya menstruasi adalah hal biasa, sama seperti buang air karena organ pencernaan bekerja. Menstruasi adalah bagian dari kerja organ tubuh perempuan.

Ketika akhirnya saya berani terbuka mengatakan bahwa saya telah menstruasi kepada teman-teman saya, saya tidak dapat menyebut terang-terangan kata "menstruasi". Seakan-akan saya sedang berjalan di atas lantai es yang rapuh, kalau saya tidak berhati-hati, saya akan jatuh dan tenggelam. Akhirnya ketika saya ingin menyebut menstruasi, saya harus memperhatikan sekeliling saya, berbisik, dan mengganti kata "menstruasi" dengan istilah lain: datang bulan, dapet, halangan, hingga ada tamu. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Clue dan The International Women's Health Coalition, terdapat lebih dari 5,000 istilah dan eufemisme yang berbeda untuk kata "menstruasi" di seluruh dunia.

Saya yakin pengalaman saya bukan pengalaman unik yang hanya terjadi pada saya, jutaan perempuan di luar sana mengalami hal yang serupa, bahkan lebih parah. Bukan hanya diterkam malu, tetapi juga dicengkeram rasa takut dan beban tabu. Menstruasi dilabeli dengan sangat rendah, sebagai salah satu "cacat" perempuan yang tidak seharusnya ada. Franklin dan Bunte (1996) dalam artikelnya yang berjudul "Animals and humans, sex and death: toward a symbolic analysis of four southern Numic rituals" menyebut menstruasi dikategorikan sebagai "untuk melestarikan dominasi laki-laki dengan menstigmatisasi perempuan dan seksualitasnya sebagai ancaman supernatural bagi laki-laki dan tatanan sosial serta budaya yang diwakili dan dikendalikan oleh laki-laki".

Di Tanzania, beberapa anak perempuan mengatakan bahwa mereka diajarkan untuk tidak sembarangan membuang sisa menstruasi di tempat terbuka karena dapat digunakan untuk sihir, yang mengakibatkan kematian atau kemandulan (Tamiru, 2004). Sementara itu, di Taiwan, perempuan yang sedang menstruasi dianggap rentan dan mudah menjadi sasaran empuk bagi roh, setan, atau hantu (Lhamo, 2003). Mitos-mitos semacam itu juga bukan sesuatu yang asing di Indonesia. Saya tumbuh dewasa mendengarkan berbagai macam pantangan yang berhubungan dengan darah menstruasi: tidak boleh memasak, tidak boleh menyisir rambut, tidak boleh keramas, tidak boleh minum air dingin, tidak boleh membersihkan pembalut dengan kaki, dan masih banyak lagi.

Masyarakat membuat saya berpikir bahwa menstruasi merupakan sesuatu yang menjijikkan dan kotor. Saya dan dua rekan saya pernah mewawancarai Westiani Agustin, pendiri Biyung Indonesia, sebuah social enterprise yang berfokus pada isu perempuan dan lingkungan. Saya menganggap diri saya sebagai seseorang yang tertarik dengan isu perempuan, tetapi selama wawancara berlangsung mulut saya kerap menganga, karena ternyata sebagai seorang perempuan ada banyak hal mengenai tubuh dan hak-hak saya yang tidak saya ketahui. Bahkan hal sesederhana bahwa menstruasi bukan tentang kebersihan, tetapi kesehatan. Pertanyaan retoris yang diajukan semacam ini, "Kenapa pembalut kalau di mal atau toko masuk ke dalam kategori hygiene and sanitation atau feminine hygiene products?"

Pertanyaan itu membuat saya terdiam sejenak, kenapa saya tidak pernah terpikirkan akan hal itu? Karena keluarga, sekolah, dan lingkungan sosial saya tidak pernah berpikir demikian. Padahal jika menstruasi diakui sebagai kesehatan, maka masalah period poverty menjadi kewajiban pemerintah untuk dituntaskan yang dijamin oleh Undang-Undang Dasar (UUD) Tahun 1945 Pasal 28 H ayat (1).

Istilah period poverty bukan istilah yang marak dikenal oleh masyarakat sebaik istilah kemiskinan moral atau kemiskinan ilmu. Bahkan ketika pertama kali mendengar frasa period poverty, saya tidak tahu bahwa lingkup kemiskinan itu lebih dari tidak mampu membeli pembalut. Dilansir dari artikel De Benedictis (2023), istilah period poverty pertama kali dikenalkan ke publik lewat media massa pada tahun 2016. Period poverty atau kemiskinan menstruasi didefinisikan sebagai kurangnya akses terhadap produk menstruasi, fasilitas kebersihan, pengelolaan limbah, dan edukasi tentang menstruasi (Michel et al, 2022).

Kemiskinan menstruasi dipengaruhi erat oleh patriarki, sebuah akibat dari budaya dan tradisi yang dibangun selama berabad-abad lamanya. Dalam masyarakat yang patriarki, perempuan tidak punya kehendak atas tubuhnya sendiri. Eufemisme untuk kata "menstruasi" yang telah dijelaskan di atas juga merupakan bagian kecil dari patriarki yang membuktikan peran besar patriarki dalam kehidupan perempuan dan mengakar dalam banyak budaya di berbagai negara.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun
OSZAR »