Ada satu kalimat yang sering muncul dari bibir para dewasa muda hari ini "Capek, tapi harus kuat." Di balik senyuman mereka saat pulang kerja, tersimpan daftar panjang tanggung jawab yang harus dituntaskan, dari membayar tagihan rumah, membelikan obat untuk orang tua, sampai menabung diam-diam untuk biaya sekolah anak. Mereka bukan hanya bertarung untuk hari ini, tapi juga mencoba membangun hari esok yang belum tentu sempat dinikmati. Inilah wajah suram dari generasi sandwich yang terjepit secara finansial, mental, dan emosional antara dua generasi: atas dan bawah.
Generasi Sandwich Ada di Mana-Mana, Tapi Tak Pernah Benar-Benar Dibicarakan
Istilah generasi sandwich mungkin terdengar seperti konsep sosiologis belaka. Tapi kenyataannya, Â sekarang mereka ada di mana-mana. Mereka adalah kamu, teman satu tongkronganmu, kolegamu yang tampak ceria padahal diam-diam menarik napas dalam saat tagihan rumah sakit orang tuanya membengkak. Generasi ini biasanya berada di rentang usia 30--50 tahun, di mana mereka masih punya tanggungan anak kecil namun juga bertanggung jawab atas perawatan orang tua yang sudah tak produktif.
Yang jarang disorot adalah bagaimana peran ini sering datang tanpa pilihan. Sistem sosial di Indonesia masih sangat bergantung pada budaya kolektivisme dan "balas budi." Kamu dianggap anak durhaka kalau tidak ikut menanggung beban orang tua. Di sisi lain, kamu juga dituntut jadi orang tua yang visioner, mampu memberi masa depan yang lebih baik untuk anak-anakmu. Di tengah dua kutub tuntutan ini, siapa yang memikirkan masa depanmu sendiri?
Lebih jauh, banyak dari generasi sandwich tidak memiliki cukup uang secara ekonomi. Badan Pusat Statistik mencatat bahwa hampir 80% rumah tangga Indonesia tidak punya dana darurat memadai, sementara biaya hidup terus meningkat setiap tahunnya. Artinya, sedikit saja ada kondisi darurat  misalnya orang tua jatuh sakit atau anak butuh operasi mendadak rencana keuangan mereka bisa runtuh seketika.
Mimpi yang Semakin Jauh atau Masih Mungkin?
Pertanyaan pentingnya bukan cuma "apakah generasi sandwich bisa merencanakan masa depan?", tapi "apa sebenarnya yang mereka sebut masa depan?". Karena untuk sebagian orang, masa depan bukan lagi tentang pensiun nyaman atau jalan-jalan ke luar negeri, tapi sekadar hidup tanpa utang dan punya waktu istirahat yang cukup.
Kita harus akui bahwa banyak generasi sandwich berada dalam jebakan survival mode. Mereka terlatih untuk bertahan, bukan tumbuh. Akibatnya, perencanaan jangka panjang terasa seperti kemewahan. Waktu habis untuk kerja, uang habis untuk bertahan, dan energi habis untuk mengurus semua orang kecuali diri sendiri.
Namun yang tidak banyak diketahui, justru dalam kondisi seperti inilah perencanaan mikro menjadi penting. Perencanaan keuangan tidak selalu berarti investasi saham atau beli properti, tapi juga bagaimana kamu mengatur prioritas harian, menyusun strategi pengeluaran berdasarkan realita, bukan idealisme. Ini bukan narasi motivasi klise, tapi pendekatan yang realistis.
Banyak yang tidak tahu bahwa layanan asuransi kesehatan untuk orang tua bisa jauh lebih murah jika diambil saat mereka belum masuk usia rawan. Atau bahwa banyak program bantuan pendidikan pemerintah dan swasta yang tidak dimanfaatkan karena dianggap "ribet." Padahal, justru di titik inilah informasi menjadi kunci.