Pemerintah telah meluncurkan lima paket stimulus ekonomi senilai Rp 24,44 triliun untuk periode Juni hingga Juli 2025.Â
Langkah ini dimaksudkan sebagai respons terhadap melambatnya pertumbuhan ekonomi Indonesia, yang pada kuartal I-2025 hanya mencapai 4,87 persen (yoy), turun dari 5,11 persen pada periode yang sama tahun sebelumnya.
Namun, efektivitas stimulus ini dalam mendorong pertumbuhan ekonomi ke angka 5 persen patut dipertanyakan.Â
Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia secara terbuka menyatakan pesimisme atas dampak jangka panjang dari paket stimulus ini.Â
CORE memproyeksikan pertumbuhan ekonomi 2025 hanya akan mencapai 4,8 persen, bahkan dengan stimulus sekalipun, angka itu diperkirakan hanya naik sedikit menjadi 4,9 persen.
Pertanyaan mendasar yang perlu kita ajukan: apakah strategi berbasis stimulus konsumsi bersifat sementara masih relevan untuk mengatasi tantangan struktural ekonomi Indonesia?
Paket stimulus yang diluncurkan pemerintah terdiri dari diskon tarif transportasi umum, potongan tarif tol, penambahan manfaat program sembako, subsidi upah untuk pekerja berpendapatan rendah, serta diskon iuran Jaminan Kecelakaan Kerja bagi sektor padat karya.Â
Tidak diragukan, program ini menyasar sektor-sektor dengan kontribusi tinggi terhadap konsumsi rumah tangga.Â
Namun, durasi program yang sangat pendek --- sebagian besar hanya berlaku selama dua bulan --- membatasi dampaknya.
Stimulus semacam ini lebih tepat dikategorikan sebagai counter-cyclical measure jangka pendek, bukan solusi untuk memperbaiki daya beli secara berkelanjutan. Begitu insentif berakhir, konsumsi berpotensi kembali melemah.Â