Hal ini menimbulkan pertanyaan tentang value for money dari intervensi fiskal yang bersumber dari APBN.
Menteri Keuangan menyampaikan bahwa stimulus ini bertujuan menjaga daya beli masyarakat di tengah tekanan global.Â
Niat ini patut diapresiasi. Namun, pada saat yang sama, kita tidak boleh mengabaikan kenyataan bahwa akar persoalan lemahnya konsumsi masyarakat berada pada stagnasi pendapatan riil dan minimnya penciptaan lapangan kerja produktif.
Perekonomian Indonesia sejak beberapa tahun terakhir menghadapi tantangan struktural serius: produktivitas tenaga kerja yang rendah, sektor informal yang besar, serta ketergantungan konsumsi rumah tangga terhadap bantuan sosial.Â
Dalam kondisi seperti ini, pertumbuhan yang stabil di atas 5 persen sulit dicapai jika kebijakan tidak menyentuh akar persoalan.
Subsidi upah selama dua bulan memang dapat membantu konsumsi jangka pendek, tetapi tidak cukup untuk meningkatkan daya beli secara permanen.Â
Demikian pula dengan diskon transportasi yang hanya berlaku selama musim liburan.Â
Sementara itu, belum terlihat adanya langkah konkret untuk memperbaiki kualitas pekerjaan, mendorong mobilitas ekonomi kelas menengah bawah, atau mengendalikan harga barang-barang kebutuhan pokok yang terus naik.
Pertumbuhan ekonomi yang inklusif mensyaratkan bahwa rumah tangga dapat meningkatkan penghasilannya melalui peningkatan produktivitas dan partisipasi ekonomi yang lebih luas.Â
Tanpa itu, pertumbuhan hanya menjadi angka statistik yang tidak terasa manfaatnya di tingkat rumah tangga.
Pemerintah perlu menyadari bahwa stimulus ekonomi bukanlah panacea bagi segala masalah.Â