Janji inklusivitas dalam rekrutmen kerja kian nyaring terdengar. Tapi, apakah realitasnya juga seindah slogannya?
Setiap tahun, dunia kerja tampaknya berbenah. Perusahaan berlomba-lomba mencitrakan diri sebagai tempat yang inklusif, terbuka untuk semua, dan tidak lagi terjebak pada stereotip lama seperti batasan usia atau penampilan fisik. Poster-poster lowongan kerja mulai menghapus kata "maksimal 25 tahun" atau "berpenampilan menarik". Tapi mari kita bertanya secara jujur: benarkah tren ini nyata adanya, atau hanya rebranding semata?
Mari kita mulai dengan mitos pertama: usia tak lagi jadi soal.
Di atas kertas, memang terdengar menjanjikan. Bahkan beberapa platform rekrutmen kini menyediakan filter untuk pekerjaan tanpa batas usia. Namun kenyataannya, data dari JobStreet Indonesia tahun 2024 menunjukkan bahwa lebih dari 63% lowongan kerja tetap mencantumkan batas usia, dengan mayoritas berada di rentang 20--30 tahun. Bahkan untuk posisi non-teknis atau administratif, preferensi usia masih menjadi pertimbangan utama.
Salah satu alasan klasik yang kerap dikemukakan adalah: "yang muda lebih cepat belajar, lebih fleksibel, dan lebih tahan banting." Alasan ini bukan hanya tidak berdasar, tapi juga meremehkan pengalaman dan stabilitas emosional yang dimiliki pekerja berusia di atas 35 tahun. Ironisnya, saat pandemi melanda, banyak perusahaan justru bergantung pada pekerja senior yang lebih siap menghadapi tekanan dan ketidakpastian.
Kemudian, kita masuk ke mitos kedua: penampilan fisik tidak penting, yang penting kompetensi.
Terdengar ideal, namun survei internal oleh sebuah agensi perekrutan di Jakarta menunjukkan bahwa 48% HRD masih menjadikan penampilan sebagai faktor penilaian, khususnya untuk posisi frontliner, sales, atau PR. Di media sosial, cerita soal "tidak diterima karena tidak sesuai standar kecantikan" masih ramai dibagikan.
Bayangkan ironi ini: generasi yang dibesarkan dengan ajakan untuk menjadi diri sendiri, justru tumbuh dalam ekosistem kerja yang mengagungkan standar penampilan tertentu. Tampil "good looking" tetap jadi "soft skill tidak tertulis" dalam banyak industri. Bahkan, beberapa pelamar mengaku merasa perlu mencantumkan foto profil yang telah difilter agar "lebih meyakinkan."
Lantas, dari mana datangnya narasi "tak ada lagi batas usia dan good looking"?
Jawabannya mungkin ada pada strategi branding perusahaan. Banyak perusahaan kini sadar bahwa mereka harus tampil lebih modern dan inklusif di mata publik. Oleh karena itu, jargon-jargon seperti "kami menghargai keberagaman" dan "siapa pun bisa melamar" menjadi menu wajib dalam iklan lowongan. Namun sayangnya, ketika proses seleksi dimulai, bias bawah sadar dan standar lama masih tetap beroperasi.