Apa jadinya ketika penjaga iklim terbesar di dunia justru terlupakan oleh pemiliknya sendiri?
Sebagai tuan rumah, Indonesia punya harta karun ekologis yang paling berharga namun sering terpinggirkan. Gambut tropis. Itulah dia harta karun ekologi.Â
Seringkali gambut akan masuk berita saat dia terbakar, sehingga kabut asap terjadi, dan akhirnya citra negara di mata dunia tercoreng. Padahal, di luar musim kemarau dan krisis kebakaran, gambut menyimpan kisah panjang tentang perlawanan, ketimpangan perhatian, dan harapan yang disuarakan dari pinggiran.Â
Di tengah derasnya investasi sawit, ekspansi industri, dan geliat pembangunan, lahan gambut seolah hanya jadi ruang kosong yang menunggu untuk ditaklukkan. Namun siapa sangka, justru di balik rawa-rawa gelap yang terlihat "tak produktif" itulah, tersimpan jutaan ton karbon dan masa depan ekosistem kita.
Apa Itu Gambut dan Mengapa Dia Penting?
Gambut terbentuk dari timbunan bahan organik seperti daun dan kayu yang membusuk perlahan di lingkungan basah dan minim oksigen, selama ribuan tahun. Proses ini menciptakan penyimpan karbon alami yang sangat efisien.
Indonesia, memiliki sekitar 13,4 juta hektar lahan gambut, dan menyimpan lebih dari 28 miliar ton karbon. Ini menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara dengan cadangan karbon gambut terbesar di dunia.
Jika gambut dikeringkan atau dibakar, karbon ini akan lepas ke atmosfer dan mempercepat laju pemanasan global. Jadi dalam hal ini, gambut bukan sekadar "tanah basah" tapi sebagai perisai bumi dari krisis iklim.
Dari Surga Ekologis Menjadi Neraka Asap
Sungguh ironi memang, gambut lebih sering muncul di media bukan karena keunggulannya, melainkan karena bencana kabut asap tahunan. Tahun 2015 misalnya, kebakaran lahan gambut di Indonesia menyebabkan lebih dari 1,6 miliar ton emisi CO, melebihi emisi tahunan negara-negara industri.
Sebagian besar kebakaran tersebut terjadi di lahan gambut yang telah dikeringkan dan dibuka untuk perkebunan sawit dan akasia. Praktik ini dilakukan dengan pembakaran sebagai metode termurah. Meskipun dilarang, pengawasan yang kurang ketat menyebabkan praktik ini berulang terjadi.
Siapa yang bertanggung jawab?Â
Pemerintah sering menunjuk perusahaan, perusahaan menyalahkan petani kecil, dan petani menyebut tidak punya pilihan. Maka, api menyala dan asap menyebar ke Singapura, Malaysia, bahkan ke ranjang anak-anak sekolah di Pekanbaru.
Antara Sawit dan Kepentingan Ekonomi
Di mata kebijakan ekonomi, lahan gambut sering dilihat sebagai "ruang potensial". Pemerintah pusat maupun daerah mendorong ekspansi perkebunan sawit sebagai komoditas unggulan penyumbang devisa. Sawit memang penting secara ekonomi, namun yang jadi masalah adalah kalkulasi ekologis dan sosial yang diabaikan.
Dalam banyak kasus, kawasan gambut utuh ditetapkan menjadi area produksi. Bahkan, proyek food estate pun sempat menyasar kawasan gambut Kalimantan Tengah yang akhirnya gagal dan menyisakan kerusakan ekosistem.
Kebijakan yang tidak berbasis ekologi, minim keterlibatan warga lokal, dan terlalu mengejar target ekonomi jangka pendek, menjadi bom waktu lingkungan hidup.
Siapa yang Menjaga Ketika Negara Lalai?
Di balik semua itu, masih ada harapan. Di banyak desa pinggiran rawa, komunitas lokal berjuang memulihkan dan melindungi lahan gambut mereka. Mereka bukan akademisi, bukan pejabat, tapi ibu-ibu petani, kelompok nelayan, hingga pemuda desa.
Contohnya, di Jambi dan Kalimantan Barat, kelompok masyarakat yang didampingi  pemerintah dan NGO seperti BRIN, WALHI, Yayasan Konservasi Alam Nusantara, berhasil merehabilitasi ratusan hektar gambut. Mereka membuat sumur bor pencegah kebakaran, menanam kembali vegetasi asli, dan menjalankan ekonomi berbasis gambut berkelanjutan seperti budidaya jelutung atau kopi rawa.
Mereka membuktikan bahwa konservasi tidak butuh seragam dinas, hanya butuh kesadaran dan kolaborasi.
Ketimpangan Perhatian dan Minimnya Komitmen
Meski berperan strategis, lahan gambut jarang jadi prioritas. Dalam skema Nationally Determined Contribution (NDC) Indonesia terkait perubahan iklim, kontribusi restorasi gambut masih minim dibandingkan kehutanan atau energi.
Revisi regulasi perlindungan gambut pun kerap dipermainkan. Setelah Presiden Jokowi membentuk BRG (Badan Restorasi Gambut) pada 2016, harapan sempat tumbuh. Namun ketika lembaga ini dilebur pada 2021, banyak program restorasi mandek.
Komitmen internasional seperti Just Energy Transition Partnership (JETP) pun lebih fokus ke transisi energi, padahal mitigasi iklim tropis sangat membutuhkan penyelamatan ekosistem gambut.
Dari Krisis ke Harapan: Jalan ke Depan
Gambut bukan masalah lingkungan semata, ia adalah masalah tata kelola, keadilan sosial, dan masa depan generasi. Jika dikelola dengan benar, lahan gambut bisa menjadi sumber pangan lokal, penyimpan karbon, serta benteng terhadap banjir dan kebakaran.
Pemerintah harus:
- Meninjau ulang izin industri di kawasan gambut
- Memperkuat peran masyarakat lokal sebagai pengelola
- Memberi insentif terhadap produk-produk ramah gambut
- Memasukan gambut dalam kurikulum pendidikan sejak dini
Suara dari Rawa-Rawa
Jika kita bersikap jujur, masyarakat pinggiran gambut tak pernah benar-benar meminta dunia untuk menyelamatkan mereka. Mereka hanya ingin dibiarkan menjaga apa yang telah dijaga leluhur mereka selama ratusan tahun.
Namun kita yang tinggal di kota, menghirup udara bersih, dan duduk di ruang ber-AC, punya utang. Utang untuk tidak membiarkan mereka berjuang sendiri di tengah api, sawit, dan harapan.
Karena jika penjaga iklim ini padam, bukan hanya rawa yang mengering, tapi juga masa depan kita semua.
Sumber:
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI