"Ketika hukum diam, di balik indahnya sorotan estetika terdapat kekerasan, ajang kecantikan berubah menjadi panggung ketidakadilan"
Dunia kecantikan, khususnya ajang seperti Miss Universe Indonesia selama ini identik dengan pemberdayaan perempuan dan pencapaian estetika. Namun di balik gemerlap sorot panggung, ada sisi gelap yang jarang tersorot menjadikannya ruang abu-abu yang tidak tersentuh oleh orang.
Salah satu isu krusial yang mencuat adalah praktik body checking tanpa kejelasan prosedur kontraktual dan tanpa persetujuan eksplisit. Memaksa untuk menanggalkan pakaian jika dilakukan dengan konteks profesionalisme, tetap melanggar hak atas tubuh dan privasi, sebagaimana dijamin oleh Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) dan Pasal 81 Ayat (1) UU No. 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) khususnya perlindungan terhadap dokumentasi pribadi tanpa izin.
Putusan Mahkamah Agung No.1234 K/Pid.Sus/2023 menegaskan pentingnya sanksi yang adil dalam kasus kekerasan seksual. Namun dalam praktiknya, vonis 1 tahun 4 bulan penjara terhadap pelaku serupa mengindikasikan belum optimalnya implementasi UU TPKS. Penegak hukum dituntut tidak hanya memahami teks hukum, tetapi juga konteks sosial dan struktural dari kekerasan seksual dalam industri hiburan.
 fenomena kontrak diam-diam (implied coercion) menjadi aspek utama yang kerap luput dari pandangan. Dimana peserta merasa tak punya pilihan untuk menolak karena khawatir dianggap tidak professional atau hilangnya kesempatan melenggang di panggung kompetisi. Tekanan structural ini meski tidak tertulis adalah salah satu bentuk paksaan yang nyata.
 Namun pertanyaannya apakah hakim sudah benar-benar paham dan siap menegakkan perlindungan itu dalam kasus yang "dibungkus rapi" oleh narasi industri.
Dunia kecantikan harus tunduk pada prinsip hukum, bukan hanya tunduk pada kamera demi standardisasi pasar. Ada tubuh yang dipertaruhkan. Ada martabat yang terlukai. Dan ada hukum yang seharusnya berdiri paling depan. Sudah saaatnya publik, media, dan akademisi tidak hanya melihat ajang kecantikan dari sisi kebudayaan atau estetika. Kita butuh narasi hukum yang kuat agar tidak lagi ada perempuan yang diam, hanya karena dunia terlalu sibuk menikmati keestetikaannya saja.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI